Oleh: Pande Wayan Deni Kesuma Wijaya (246120500011009)
Magister Sains Psikologi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Brawijaya
kesumawijaya196@student.ub.ac.id
DALAM beberapa tahun terakhir, Indonesia dihadapkan pada serentetan kasus pelecehan seksual yang melibatkan pejabat publik. Fenomena ini tidak hanya menyentuh ranah pribadi korban, tetapi juga menyentuh dimensi psikologi sosial masyarakat secara lebih luas. Ketika seorang pejabat publik terlibat dalam tindakan pelecehan, yang terguncang bukan hanya korban, tetapi juga struktur kepercayaan kolektif terhadap institusi pemerintahan.
Kasus-kasus seperti di Padangsidimpuan, di mana seorang anak pejabat diduga melakukan pelecehan seksual terhadap seorang remaja perempuan, tetapi korban justru yang dijadikan tersangka, menunjukkan betapa jauhnya jarak antara janji hukum yang adil dan praktik lapangan yang korup.
Publik bukan hanya dikecewakan, tetapi juga dirampas rasa aman dan rasa kepercayaannya terhadap sistem yang seharusnya melindungi mereka. Kita tidak sedang membahas satu-dua perilaku menyimpang. Kita sedang membedah sebuah sistem sosial yang gagal, yang membiarkan kekuasaan melindungi pelaku dan mengorbankan korban. Di sinilah psikologi sosial menjadi kunci untuk memahami mengapa publik merasa muak, apatis, bahkan marah dan mengapa kepercayaan, sebagai komoditas sosial-politik, kini berada di titik nadir.
Psikologi Sosial: Saat Norma dan Perilaku Tidak Sejalan
Dalam studi psikologi sosial, perilaku manusia dipengaruhi oleh konteks sosialnya. Kepercayaan publik terhadap seorang pejabat publik dibentuk oleh persepsi terhadap moralitas, konsistensi tindakan, dan simbol-simbol integritas. Ketika seorang pejabat bertindak di luar norma, apalagi melibatkan tindak pelecehan seksual, publik mengalami disonansi kognitif: mereka dihadapkan pada kenyataan yang bertentangan dengan ekspektasi mereka.
Teori atribusi dalam psikologi sosial menyebutkan bahwa manusia cenderung mengaitkan perilaku individu dengan karakter atau disposisi pribadi. Dalam kasus pelecehan seksual oleh pejabat, publik tak hanya menilai sang pelaku, tetapi juga institusi yang menaunginya. Satu tindakan menyimpang bisa merusak citra keseluruhan lembaga. Itulah mengapa krisis kepercayaan terhadap institusi sering kali bermula dari tindakan menyimpang individu yang punya kekuasaan.
Ketika lembaga pemerintahan tidak tegas, bahkan cenderung melindungi pelaku karena status sosialnya, publik melihat adanya ketidakadilan struktural. Seperti yang disoroti oleh Prastiasa dan rekan (2024), dominasi kepentingan politik sempit menjadikan integritas lembaga dipertaruhkan demi melindungi kelompok elite. Dalam kacamata masyarakat, ini bukan hanya penyimpangan moral, tapi bentuk pelecehan terhadap kepercayaan publik.
Kekuasaan dan Normalisasi Penyimpangan
Kasus pelecehan seksual yang melibatkan orang-orang berkuasa bukanlah hal baru. Dunia internasional pernah geger oleh kasus Harvey Weinstein, Bill Cosby, hingga Donald Trump. Arya dan Schwarz (2023) menunjukkan bagaimana opini publik terbagi dan kadang menormalisasi tindakan tersebut ketika pelaku adalah tokoh berpengaruh. Sayangnya, Indonesia tidak luput dari pola serupa.
Kekuasaan menciptakan privilege: akses terhadap hukum, media, hingga opini publik. Inilah yang menyebabkan banyak kasus pelecehan seksual oleh pejabat menguap tanpa kejelasan. Bahkan dalam beberapa kasus, korban diintimidasi, dijerat balik secara hukum, atau dipaksa berdamai demi nama baik institusi. Kekuasaan tidak hanya menyimpang; ia aktif membungkam.
Psikologi sosial menjelaskan ini melalui konsep “obedience to authority” di mana orang-orang dalam struktur hirarkis cenderung mengikuti perintah atau menutupi pelanggaran atasannya, meski itu melanggar moral pribadi. Budaya feodal yang masih kuat dalam sistem birokrasi kita memperkuat kecenderungan ini.
Norma Gender dan Budaya Patriarkis
Pelecehan seksual adalah produk dari sistem sosial yang permisif terhadap kekerasan berbasis gender. Young dan Hegarty (2019) mengungkapkan bagaimana norma sosial membentuk standar ganda dalam menilai tindakan laki-laki dan perempuan. Ketika seorang laki-laki yang berkuasa melakukan pelecehan, masyarakat seringkali meremehkannya sebagai “godaan biasa”, “hanya bercanda”, atau “tidak sengaja”.
Budaya patriarkis membentuk cara pandang masyarakat sehingga korban kerap disalahkan. Korban dianggap “mengundang”, “berpakaian tidak sopan”, atau “terlalu manja”. Narasi ini diperkuat oleh media yang sering menggiring opini secara bias. Korban tidak hanya kehilangan kepercayaan terhadap institusi, tapi juga terhadap lingkungan sosialnya.
Kondisi ini menyebabkan banyak korban memilih diam. Trauma tidak hanya datang dari pelaku, tetapi dari lingkungan sosial yang tidak berpihak. Dalam banyak kasus, korban mengalami gangguan psikologis berat, seperti kecemasan, depresi, PTSD, dan kehilangan fungsi sosial normal (Wulandari & Saefudin, 2024).
Hilangnya Kepercayaan Kolektif: Ketika Trauma Jadi Milik Publik
Kasus pelecehan seksual oleh pejabat publik memiliki dampak psikososial yang jauh melampaui korban. Ketika publik menyaksikan sistem yang semestinya melindungi justru menjadi alat kekuasaan, yang tumbuh adalah apatisme, sinisme, dan ketidakpercayaan. Ini adalah bentuk trauma kolektif.
Trauma kolektif ini merusak modal sosial masyarakat. Orang menjadi tidak percaya terhadap pejabat, terhadap sistem hukum, bahkan terhadap konsep keadilan itu sendiri. Masyarakat berhenti melapor karena merasa tidak akan didengar. Rasa takut menjelma jadi budaya diam.
Krisis kepercayaan ini sangat berbahaya karena menggerus partisipasi publik dalam pembangunan demokrasi. Masyarakat menjadi apatis, menolak terlibat dalam politik, dan mencurigai setiap kebijakan sebagai bentuk manipulasi. Akibatnya, ruang publik kehilangan kekuatan korektif terhadap kekuasaan.
Ketika Hukum Menjadi Alat Kekuasaan
Kasus di Padangsidimpuan menjadi cerminan menyakitkan betapa hukum bisa dipelintir untuk melindungi kekuasaan. Ketika korban justru dijadikan tersangka, masyarakat bukan hanya marah, tapi kehilangan harapan. Ini bukan lagi sekadar ketidakadilan hukum, tapi kekerasan institusional.
Implementasi hukum yang tebang pilih menciptakan distorsi sosial. Pelaku dengan kekuasaan seringkali lolos karena “tidak cukup bukti”, “tidak ada saksi”, atau “sudah berdamai secara kekeluargaan”. Sementara korban dihantui proses hukum yang melelahkan, stigma sosial, dan tekanan dari berbagai pihak.
Kondisi ini diperparah oleh lemahnya pelaksanaan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Meski UU No. 12 Tahun 2022 telah disahkan, implementasinya masih jauh dari harapan. Lembaga perlindungan korban masih minim sumber daya, aparat penegak hukum belum sepenuhnya terlatih, dan masyarakat belum sepenuhnya memahami substansi hukum tersebut.
Membangun Kembali Kepercayaan: Bukan Lewat Janji, Tapi Aksi Nyata
Kepercayaan publik adalah fondasi dari tatanan sosial. Ketika fondasi ini rapuh, maka krisis tidak hanya terjadi di ruang psikologis, tetapi juga dalam ruang politik, hukum, dan budaya. Oleh karena itu, membangun kembali kepercayaan tidak bisa dilakukan dengan retorika, tetapi melalui langkah konkret.
Pertama, sistem pelaporan dan perlindungan korban harus dibenahi. Korban harus memiliki ruang aman untuk bersuara tanpa takut dikriminalisasi. Kedua, proses hukum terhadap pelaku—terutama yang berasal dari kalangan elite—harus dijalankan secara transparan dan adil. Ketiga, edukasi tentang pelecehan seksual, consent, dan kesetaraan gender harus menjadi bagian integral dari kurikulum pendidikan sejak dini.
Keempat, media memiliki tanggung jawab besar dalam membentuk opini publik. Media harus berhenti mengejar sensasi, dan mulai mengedepankan keberpihakan terhadap korban. Kelima, lembaga publik harus menunjukkan keteladanan, tidak hanya dengan slogan anti-pelecehan, tetapi dengan kebijakan internal yang konkret dan pelaporan berkala.
Penutup: Saatnya Mengakhiri Budaya Diam
Kasus pelecehan seksual yang melibatkan pejabat publik bukanlah kasus personal. Ia adalah cermin dari relasi kuasa yang timpang, hukum yang rapuh, dan budaya yang permisif terhadap kekerasan. Dalam konteks ini, psikologi sosial membantu kita memahami bahwa membiarkan penyimpangan ini berlangsung berarti membiarkan tatanan sosial hancur dari dalam.
Kita tidak bisa lagi membiarkan budaya diam mendominasi. Suara korban harus dilindungi, bukan dibungkam. Institusi harus membersihkan dirinya dari pelaku dan penikmat kekuasaan yang menyimpang. Hukum harus menjadi alat keadilan, bukan alat kekuasaan.
Hanya dengan keberanian kolektif dan keberpihakan yang nyata, kita bisa membangun ulang kepercayaan yang telah lama rusak. Bukan dengan slogan, bukan dengan simbol, tetapi dengan keberanian untuk berdiri di sisi yang benar sekalipun itu berarti melawan mereka yang berkuasa.(*)
Referensi
Arya, P., & Schwarz, N. (2023). How prominent cases of sexual harassment influence public opinion across countries. Political Psychology, 44(6), 1281-1299.
Young, J. L., & Hegarty, P. (2019). Reasonable men: Sexual harassment and norms of conduct in social psychology. Feminism & Psychology, 29(4), 453-474.
Liardo, Y. R., et al. (2025). Kasus Pelecehan Seksual Anak Seorang Pejabat di Padangsidimpuan. Bureaucracy Journal, 5(1), 191-205.
Prastiasa, F. R., et al. (2024). Krisis Kepercayaan Masyarakat Terhadap Lembaga Perwakilan. Prosiding Seminar Nasional Pendidikan FPMIPA, 2(1), 563-571.
Wulandari, Y. A., & Saefudin, Y. (2024). Dampak Psikologis dan Sosial Pada Korban Kekerasan Seksual. Jurnal Review Pendidikan dan Pengajaran, 7(1), 296-302.
Kompasiana. (2023). Penyimpangan Seksual di Lembaga Pemerintahan.Link. https://www.kompasiana.com/lorongmandiri1237/651284b3ae1f07484d609314/penyimpangan-seksual-di-lembaga-pemerintahan-potensi-dan-upaya-pencegahan