Di tepian Muara Sungai Dumai, di mana riuhnya aktivitas industri tak pernah berhenti, terhampar sebuah keajaiban alam yang menenangkan jiwa. Bandar Bakau. Hutan mangrove seluas 24 hektar ini, dulunya hanya sepetak lahan seluas 2,6 hektar, kini menjadi bukti nyata bahwa keindahan alam dapat tumbuh subur bahkan di tengah gempuran industrialisasi.
Laporan: IRMEN SANI, Dumai
Bandar Bakau dulunya hanyalah lahan mangrove terlantar, terabaikan di antara deru mesin dan kepulan asap pabrik. Namun, berkat upaya konservasi yang tak kenal lelah, kini ia menjelma menjadi oase hijau yang menyejukkan mata dan menyegarkan jiwa. Pepohonan mangrove yang rimbun menjulang tinggi, akar-akarnya yang kokoh mencengkeram tanah, menciptakan lanskap yang memukau sekaligus menjadi rumah bagi beragam flora dan fauna.
Dideklarasikan sebagai areal konservasi pada tahun 1999, Bandar Bakau menjadi bukti nyata perjuangan masyarakat dan pemerintah setempat dalam menjaga kelestarian lingkungan. Lokasinya yang berhadapan langsung dengan Selat Rupat menyuguhkan pemandangan laut yang memukau, dengan kapal-kapal yang melintas menambah pesona kawasan ini. Titian yang menghadap laut menjadi spot favorit pengunjung untuk menikmati panorama alam yang menakjubkan.
Di Bandar Bakau, kicau burung berpadu dengan desir angin yang membelai dedaunan, menciptakan simfoni alam yang menenangkan. Di antara akar-akar mangrove, kepiting-kepiting berlarian lincah, sementara burung-burung bermigrasi mencari tempat berteduh. Sebuah pemandangan yang kontras dengan hiruk-pikuk kota industri yang hanya beberapa kilometer jauhnya.
Keanekaragaman hayati Bandar Bakau juga patut diacungi jempol. Dari 40 jenis bakau yang ada di Riau, 24 jenis diantaranya terdapat di tempat ini, dengan jenis Xylocarpus Granatum atau Nyirih Bunga mendominasi. Selain itu, terdapat pula Bakau Merah, Bosing dan Bakau Api-api yang turut memperkaya ekosistem hutan mangrove.
Di sisi lain, satwa-satwa seperti Kera Ekor Panjang, Burung Punai, Bangau dan Kucing Bakau juga menghuni kawasan ini, menambah daya tarik bagi para pecinta alam. Jika beruntung, pengunjung dapat menyaksikan sekelompok Kera Ekor Panjang bergelantungan di pepohonan.
Keunikan Bandar Bakau semakin lengkap dengan suasananya yang sunyi dan tenang. Jauh dari kebisingan kota, hutan mangrove ini menjadi tempat ideal untuk melarikan diri sejenak dari rutinitas dan menikmati kedamaian alam.
Harta Karun Tersembunyi
Di balik rimbunnya hutan mangrove Bandar Bakau, tersimpan potensi yang belum banyak terungkap. Darwis Muhammad Saleh (57), sang penjaga bakau melihatnya lebih dari sekadar keindahan alam. Baginya, 24 jenis bakau yang tumbuh di sana adalah harta karun, sumber pangan dan obat-obatan yang menunggu untuk diolah.
“ Sonneratia ovata atau Kedabu, bisa jadi jus segar,” ungkapnya sambil menunjukkan buah berwarna hijau kekuningan. “Satu buah bisa jadi enam gelas, harganya lima ribu rupiah per gelas. Lumayan, kan?”
Darwis juga menunjukkan tanaman Jeruju atau Acanthus ilicifolius , yang daunnya berkhasiat mengobati bisul. Namun, ia prihatin karena Nipah, jenis mangrove lain yang serbaguna, mulai langka di pesisir Riau.
“Mimpi saya, Bandar Bakau punya laboratorium mangrove seperti di Bali,” ujarnya penuh semangat. “Di sana, kita bisa teliti manfaat setiap jenis bakau, kembangkan produk-produk unggulan, sekaligus edukasi masyarakat,”
Bagi Darwis, laboratorium mangrove bukan sekadar angan-angan. Ia membayangkan tempat itu menjadi pusat penelitian, pengembangan produk, dan edukasi tentang mangrove. Masyarakat lokal akan dilatih untuk mengolah bakau menjadi makanan, minuman, obat-obatan, bahkan kosmetik alami.
“Ini akan membuka peluang ekonomi baru bagi masyarakat,” yakin Darwis. “Mereka bisa mandiri, sekaligus melestarikan hutan bakau,”
Mewujudkan mimpi ini tentu tak mudah. Perlu dukungan dari berbagai pihak, mulai dari pemerintah, akademisi, hingga pelaku industri. Namun, Darwis tak patah semangat.
“Saya yakin, jika kita bekerja sama, mimpi ini bisa jadi kenyataan,” tegasnya. “Bandar Bakau bukan hanya akan menjadi destinasi ekowisata, tapi juga pusat inovasi berbasis mangrove,”
Destinasi Edu Ekowisata
Darwis, pendiri Kelompok Pecinta Alam Bahari Bandar Bakau Dumai, bukan sekadar bermimpi. Bersama rekan-rekannya, ia berjuang melestarikan mangrove melalui pembibitan, penanaman, edukasi hingga pemberdayaan masyarakat. Transformasi Bandar Bakau menjadi oase hijau ini adalah hasil dari kolaborasi yang kuat antara berbagai pihak, termasuk PT Pertamina Hulu Rokan (PHR), Kelompok Tani Hutan (KTH) Bandar Bakau dan Rimba Satwa Foundation (RSF). Mereka bekerja sama, bahu-membahu untuk menjaga dan melestarikan kawasan mangrove ini.
“Dulu, kami berjuang sendiri, dengan sumber daya terbatas,” kenang Darwis. “Tapi sekarang, berkat PHR dan RSF, kami bisa melakukan lebih banyak. Program kami semakin terstruktur, dampaknya pun semakin terasa,”
Bukan hanya hutan bakau yang tumbuh tapi juga harapan masyarakat. Wisatawan mulai berdatangan menikmati keindahan alam yang lestari. Anak-anak sekolah belajar tentang pentingnya mangrove, menanam bibit dengan tangan mungil mereka. UMKM pun bergeliat, menciptakan produk-produk kreatif berbahan dasar mangrove.
“PHR datang bukan dengan uang, tapi dengan ketulusan,” kenang Darwis. “Mereka ingin membenahi Bandar Bakau bukan hanya secara fisik tapi juga dari sisi manajemen dan budaya,”
Hubungan emosional yang terjalin tanpa pamrih ini menjadi pondasi kokoh dalam mengembangkan taman eduekowisata Bandar Bakau. “Konsep PHR membangun tanpa merusak lahan sejalan dengan kami sebagai penjaga hutan mangrove,” ungkap Darwis. “Kami tidak fokus pada pariwisata massal yang berpotensi merusak lingkungan, tetapi lebih pada penyadaran akan pentingnya pelestarian ekosistem pesisir melalui seni dan budaya, menjadikan Bandar Bakau sebagai pusat riset dan edukasi wisata mangrove.”
Kolaborasi bersama PHR ini melahirkan Kelompok Tani Hutan (KTH) Bandar Bakau, yang dipimpin oleh Darwis sejak tahun 2022. Bersama 15 anggota lainnya, mereka aktif melakukan pembibitan mangrove, melengkapi fasilitas dan mengembangkan potensi ekowisata.
PHR tak hanya memberikan dukungan finansial tapi juga ide dan inovasi. Jembatan susur dari kayu bekas kapal pompong yang rawan patah diganti dengan cor beton yang kokoh. Pusat galeri, gapura dan WC umum dibangun untuk kenyamanan pengunjung. Bahkan, sebuah panggung teater pun didirikan tanpa merusak lahan alami di Bandar Bakau.
Hasilnya, Bandar Bakau menjelma menjadi destinasi edu-ekowisata yang memikat. Dalam setahun, kunjungan wisatawan melonjak hingga 3.000 orang. Siswa sekolah datang untuk belajar, pecinta alam berburu foto Instagramable, bahkan wisatawan mancanegara pun tertarik untuk mencontoh model konservasi ini.
NiKeberhasilan Bandar Bakau tak lepas dari sentuhan budaya lokal. Darwis mengangkat legenda Putri Tujuh, kisah tujuh putri cantik yang menjelma menjadi bakau, sebagai daya tarik wisata sekaligus pengingat akan pentingnya menjaga mangrove.
“Jakarta mengenal saya bukan sebagai penggiat lingkungan tapi sebagai budayawan,” ungkap Darwis bangga. “Ini membuktikan bahwa konservasi dan budaya bisa berjalan beriringan,” ujarnya.
Darwis, sosok di balik kesuksesan konservasi mangrove Bandar Bakau, kini melebarkan sayapnya. Tak puas hanya menjaga ‘rumahnya’ sendiri, ia kini menjelma menjadi inspirator bagi para pegiat mangrove di seluruh Riau.
Dari Rupat hingga Indragiri Hilir (Inhil), dari Rokan Hilir (Rohil) hingga pelosok-pelosok pesisir lainnya, Darwis hadir membawa semangat dan pengetahuan. Ia tak hanya berbagi teknik restorasi dan konservasi tapi juga menanamkan nilai-nilai penting tentang mangrove.
“Jangan miskin di kawasan hutan,” begitu pesannya yang menggugah. Baginya, mangrove bukan sekadar tanaman pelindung pantai tapi juga sumber kehidupan yang bisa mensejahterakan masyarakat.
Darwis memiliki visi besar: membangun peradaban dari sisi mangrove. Ia ingin masyarakat pesisir melihat hutan bakau bukan sebagai lahan terlantar tapi sebagai aset berharga yang bisa diolah secara berkelanjutan.
“Kita bisa mengembangkan ekowisata, budidaya perikanan bahkan industri kreatif berbasis mangrove,” ujarnya penuh semangat. “Ini bukan sekadar tentang konservasi tapi juga tentang pemberdayaan ekonomi masyarakat,” pungkasnya.
Darwis membuktikan bahwa mangrove bisa menjadi sumber penghasilan. Di Bandar Bakau, ia dan kelompoknya berhasil mengembangkan berbagai produk mulai dari batik corak bakau hingga memproduksi kue bangkit, penganan hari raya khas Melayu Riau.
Dari ‘Titik Reda’ hingga ‘Home Stay’
Semangat kemandirian berhembus kencang di Bandar Bakau Dumai. Kelompok Tani Hutan (KTH) Bandar Bakau bersama Rimba Satwa Foundation (RSF) sebagai mitra pelaksana PT Pertamina Hulu Rokan (PHR) tengah merajut mimpi besar menjadikan Bandar Bakau sebagai ekowisata mangrove yang berkelanjutan dan mandiri.
“Kita di sini hanya mengarahkan, untuk pengembangan manajemen, kalau untuk edukasi mangrove teman-teman di sini sudah paham semua. Kita salut untuk teman-teman di sini, semangat yang luar biasa,” ujar Git Fernando, GIS dan Pemetaan tim Rimba Satwa Foundation (RSF), mengungkapkan kekagumannya pada semangat KTH Bandar Bakau.
Untuk memperkaya wawasan dan meningkatkan kapasitas pengelolaan, KTH Bandar Bakau bahkan melakukan studi banding ke Batu Bara Mangrove Park. Tempat ini dipilih karena keberhasilannya dalam memadukan keindahan alam dengan sentuhan modernitas, menciptakan destinasi wisata yang menarik sekaligus edukatif.
Kegiatan studi banding ini bertujuan untuk meningkatkan pemahaman tentang pengelolaan kawasan mangrove yang berkelanjutan dengan fokus pada eduwisata, restorasi dan perlindungan satwa. KTH Bandar Bakau belajar bagaimana mengelola kawasan mangrove secara profesional sekaligus tetap menjaga kelestarian alam dan memberdayakan masyarakat setempat.
Hasilnya, KTH Bandar Bakau kini telah mampu mengelola berbagai fasilitas wisata secara mandiri. Ada ‘Titik Reda’, sebuah coffee shop yang nyaman untuk bersantai sambil menikmati keindahan mangrove. Bagi yang ingin merapikan penampilan, tersedia ‘Lapak Hair Cut’. Spot foto ‘Redam Pilu’ menawarkan latar belakang mangrove dengan konsep kekinian sehingga menarik dijadikan tempat berfoto untuk diunggah ke media sosial. Dan bagi pengunjung yang ingin menginap, tersedia ‘Home Stay’ tepi laut yang menawarkan pengalaman unik bermalam di tengah alam.
Keberhasilan Bandar Bakau tak lepas dari semangat kolaborasi yang kuat antara KTH Bandar Bakau Dumai, RSF dan PHR. PHR memberikan dukungan dalam pengembangan manajemen sementara RSF mendampingi KTH dalam meningkatkan kapasitas pengelolaan. KTH sendiri, dengan semangat dan keahliannya menjadi garda terdepan dalam menjaga kelestarian mangrove dan mengembangkan potensi ekowisata Bandar Bakau.
Bandar Bakau kini menjadi bukti nyata bahwa kolaborasi dan pemberdayaan masyarakat dapat menghasilkan dampak positif yang luar biasa. Ekowisata mangrove ini tidak hanya memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat setempat tetapi juga berkontribusi dalam pelestarian lingkungan dan edukasi publik.
Dengan semangat kemandirian yang terus berkobar, Bandar Bakau siap menyambut masa depan yang cerah. Destinasi ekowisata ini diharapkan dapat menjadi contoh inspiratif bagi daerah lain dalam mengembangkan potensi wisata alam secara berkelanjutan. “Kolaborasi, pemberdayaan dan semangat menjaga alam, itulah kunci sukses Bandar Bakau,” tutup Git Fernando.
Selamatkan Budaya Pesisir
Sementara itu, di tengah riuhnya media sosial, Darwis, penjaga hutan bakau Bandar Bakau, punya pesan khusus untuk generasi muda: “Viralkan bakau, selamatkan budaya pesisir!”
Baginya, bakau bukan sekadar tanaman pelindung pantai. Ia adalah “laman hidup, laman bermain anak pesisir,” tempat di mana budaya dan tradisi masyarakat berkelindan dengan alam.
“Dulu, kami bermain di hutan bakau, mencari kepiting, memancing ikan,” kenang Darwis. “Itulah masa kecil kami, penuh kegembiraan dan kearifan lokal,”
Namun, modernisasi dan degradasi lingkungan mengancam keberadaan bakau, sekaligus mengikis budaya pesisir. Darwis khawatir generasi muda akan kehilangan koneksi dengan alam dan warisan leluhur mereka. “Mereka lebih asyik dengan gadget, lupa bahwa ada ‘laman bermain’ yang jauh lebih seru di luar sana,” keluhnya.
Oleh karena itu, Darwis mengajak generasi muda untuk “memviralkan” bakau, bukan hanya dari sisi lingkungan tapi juga dari sisi budaya.
“Buatlah konten kreatif tentang bakau, ceritakan legenda Putri Tujuh, tunjukkan keindahan Bandar Bakau,” ajaknya. “Gunakan media sosial untuk menyebarkan pesan positif tentang konservasi dan budaya pesisir,”Darwis yakin, generasi muda punya kekuatan untuk mengubah dunia. Dengan kreativitas dan semangat mereka, bakau bisa kembali menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat pesisir.
“Saya berharap, suatu hari nanti, anak-anak akan kembali bermain di hutan bakau, seperti kami dulu,” impian Darwis. “Mereka akan mengenal dan mencintai alam, sekaligus melestarikan budaya leluhur mereka,” imbuhnya.
Lebih dari Sekedar Pariwisata
Bandar Bakau Dumai, yang dulunya merupakan kawasan mangrove terlantar di pesisir Riau, kini telah menjelma menjadi destinasi ekowisata yang tersohor. Transformasi luar biasa ini tak lepas dari komitmen PT Pertamina Hulu Rokan (PHR) dalam menjaga lingkungan dan memberdayakan masyarakat setempat.Priawansyah, Analyst Social Performance PHR Wilayah Kerja Rokan, mengungkapkan bahwa komitmen PHR dalam menjaga lingkungan telah membawa perubahan signifikan bagi Bandar Bakau. PHR telah berhasil mengubah wajah Bandar Bakau yang dulunya minim infrastruktur menjadi destinasi edu-ekowisata yang mendunia.
Berkat renovasi besar-besaran sejak tahun 2022, kini Bandar Bakau dilengkapi dengan pusat galeri, jembatan susur sepanjang serta panggung hutan bakau yang memukau. Transformasi ini terbukti ampuh menarik minat wisatawan, baik lokal maupun mancanegara. Sepanjang tahun 2023, tercatat lebih dari 3.000 pengunjung datang ke Bandar Bakau termasuk tamu dari Rusia, Malaysia dan Jepang.
Menariknya, beberapa wisatawan mancanegara datang dengan tujuan khusus yaitu melakukan penelitian terkait migrasi burung. Mereka tertarik dengan keberadaan salah satu jenis burung di Bandar Bakau dan ingin meneliti alasan di balik migrasi jarak jauh burung tersebut.
Fakta ini menjadi bukti nyata bahwa upaya konservasi yang dilakukan PHR telah berhasil meningkatkan kualitas ekologi di Bandar Bakau. “Ini jelas menunjukkan bahwa ekologi di Bandar Bakau telah membaik,” ujar Priawansyah. “Tidak hanya burung, berbagai satwa lain juga menjadikan tempat ini sebagai rumah mereka.”
Dikatakan Priawansyah, Mangrove memiliki peran penting dalam menjaga kelestarian lingkungan. Selain mengurangi emisi karbon, hutan mangrove juga berperan sebagai paru-paru dunia menghasilkan oksigen dan menyerap polutan udara.
Program Konservasi Mangrove ini telah berjalan sejak tahun 2022, dimulai dengan luasan kawasan awal sebesar 2,6 hektar. Berkat upaya berkelanjutan dan kolaborasi dengan berbagai pihak, kawasan konservasi ini telah berkembang pesat hingga mencapai 24 hektar pada tahun 2024. Melalui program konservasi kawasan Mangrove Bandar Bakau di Kota Dumai, PHR berhasil mengurangi emisi karbon hingga 1.268 Ton CO2Eq setara dengan emisi dari 845 mobil.
Penyerapan karbon oleh hutan mangrove berperan penting dalam mitigasi perubahan iklim. Dengan mengurangi emisi sebesar ini, PHR telah memberikan kontribusi nyata dalam upaya global untuk mengurangi dampak pemanasan global. Selain itu, keberhasilan ini juga menunjukkan bahwa konservasi mangrove bukan hanya tentang melindungi ekosistem tetapi juga tentang menciptakan solusi konkret untuk mengatasi tantangan lingkungan yang kita hadapi saat ini.
Melalui program konservasi mangrove, ekosistem yang kaya dan beragam di dalamnya dapat terjaga dengan baik. Hewan-hewan seperti Lutung Sumatera dan Kucing Bakau, yang sangat bergantung pada keberadaan mangrove untuk mencari makan, berlindung dan berkembang biak, dapat hidup dan lestari.
Keberadaan mangrove juga membantu melindungi pantai dari abrasi, menjaga kualitas air serta menjadi tempat pemijahan dan pertumbuhan berbagai jenis ikan dan biota laut lainnya. Dengan demikian, konservasi mangrove tidak hanya bermanfaat bagi flora dan fauna tetapi juga bagi keberlanjutan kehidupan manusia yang bergantung pada sumber daya laut dan pesisir.
Program Konservasi Mangrove yang dijalankan oleh PT Pertamina Hulu Rokan (PHR) Wilayah Kerja Rokan tidak hanya berhasil menjaga kelestarian lingkungan tetapi juga memberikan dampak positif yang signifikan pada perekonomian masyarakat setempat.
Salah satu bukti nyata adalah munculnya berbagai aktivitas ekonomi kreatif di area sekitar mangrove. Salah satu contohnya adalah coffee shop yang dikelola oleh KTH Bandar Bakau Dumai yang mampu menghasilkan omset per tahun hingga ratusan juta rupiah. Kehadiran coffee shop ini tidak hanya menciptakan lapangan kerja baru tetapi juga menjadi daya tarik bagi wisatawan yang berkunjung ke Bandar Bakau.
Keberhasilan coffee shop ini menunjukkan bahwa konservasi mangrove dapat berjalan seiring dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dengan adanya peluang usaha baru yang bermunculan, masyarakat setempat dapat memperoleh pendapatan tambahan dan meningkatkan kualitas hidup mereka.
Priawansyah juga menyampaikan apresiasinya yang tinggi terhadap Kelompok Tani Hutan (KTH) Bandar Bakau yang berhasil mengembangkan kawasan tersebut menjadi destinasi wisata mandiri yang berdaya saing.“Kami sangat mengapresiasi KTH Bandar Bakau yang telah berhasil mengembangkan kawasan ini menjadi destinasi wisata mandiri. Keberhasilan ini terlihat dari berbagai fasilitas yang telah dibangun secara swadaya oleh masyarakat, seperti homestay, lapak pangkas rambut, coffee shop dan restoran,” ujar Priawansyah.
Pengembangan fasilitas-fasilitas tersebut menunjukkan semangat kemandirian dan inisiatif masyarakat dalam memanfaatkan potensi wisata Bandar Bakau. Hal ini sejalan dengan tujuan PHR untuk memberdayakan masyarakat melalui program-program tanggung jawab sosialnya.
Terpisah, Corporate Secretary PHR, Rudi Ariffianto menjelaskan program konservasi mangrove dan edu-ekowisata Bandar Bakau hanyalah salah satu contoh dari komitmen PT Pertamina Hulu Rokan (PHR) dalam menjalankan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL). PHR tidak hanya berfokus pada pelestarian lingkungan tetapi juga memiliki perhatian yang besar terhadap pemberdayaan ekonomi masyarakat, pendidikan, kesehatan dan bantuan pasca bencana.
Sejak tahun 2021, PHR telah meningkatkan jumlah program TJSL secara signifikan. Dari awalnya hanya 10 program, kini PHR berhasil melaksanakan 30 program TJSL dalam setahun. Jumlah mitra pelaksana pun meningkat dari 10 menjadi 21, menunjukkan semakin luasnya jangkauan dan dampak program-program tersebut.
Dampak positif dari program TJSL PHR juga terlihat dari peningkatan jumlah penerima manfaat. Dalam kurun waktu beberapa tahun, jumlah penerima manfaat di Provinsi Riau meningkat empat kali lipat, dari 5.000 menjadi 21.000 orang. Program-program ini mencakup berbagai bidang, termasuk ekonomi, pendidikan, kesehatan, lingkungan dan semuanya sejalan dengan 12 dari 17 tujuan Sustainable Development Goals (SDGs).
Hal ini menunjukkan bahwa PHR tidak hanya fokus pada keuntungan bisnis semata, tetapi juga berkomitmen untuk memberikan kontribusi nyata bagi masyarakat dan lingkungan sekitarnya. Melalui program TJSL yang komprehensif dan berkelanjutan, PHR berupaya menciptakan dampak positif yang luas dan bermakna bagi masyarakat dan lingkungan di wilayah operasinya.***
Bagikan ini:
- Klik untuk membagikan di Facebook(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi pada Twitter(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi di Telegram(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi di Linkedln(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi di WhatsApp(Membuka di jendela yang baru)
Anda harus log masuk untuk menerbitkan komentar.