Blok Rokan, Si Tua-tua Keladi Semakin Tua Semakin Jadi Tumpuan Anak Negeri

MENCARI jejak rekam sejarah “emas hitam” di Riau tidaklah terlalu sulit. Ambil contoh monumen pompa angguk yang berada di Jalan Lintas Pekanbaru-Minas, Kecamatan Minas, Kabupaten Siak. Pompa angguk bewarna hitam merk Lufkin ini menjadi saksi bisu betapa kayanya negeri yang disebut-sebut tempat lahirnya Bahasa Indonesia itu.

Laporan : Miswanto

Kongkowkuy

Melalui penelitian panjang yang meletihkan, ahli geologi Jepang Toru Oki, Richard H Hopper berkebangsaan Amerika dan petugas pengeboran warga Indonesia Gebok menjadi pionir pengeboran sumur yang akhirnya diberi nama sumur Minas No 1. Sebelumnya, Maret 1941 ditetapkan lokasi. Selanjutnya, 10 Desember 1943 dimulai pengeboran, dan 4 Desember 1944 selesai. Seterusnya mulai uji pemompaan minyak bumi dengan kedalaman 800 meter. Berangkat dari sinilah tonggak sejarah perminyakan di Riau dimulai.

Namun data lain menyebutkan bahwa lapangan Minas yang menjadi tambang minyak raksasa Blok Rokan pertama kali ditemukan oleh geolog asal Amerika Walter Nygren pada 1939 lalu. Lapangan Minas pernah diklaim sebagai lapangan minyak terbesar di Asia Tenggara.

Lapangan tersebut menghasilkan minyak jenis Sumatran Light Crude yang diklaim terkenal di dunia. Pengeboran pertama di lapangan tersebut dilakukan oleh Caltex yang kemudian berubah nama menjadi Chevron.

Selanjutnya alih kelola ke PT Pertamina Hulu Rokan (PHR) anak perusahaan PT Perttamina (Persero)

Saat ditemukan, kandungan minyak di lapangan tersebut diperkirakan mencapai 6 miliar barel. Lapangan kedua, Duri. Lapangan tersebut pertama kali ditemukan pada 1941 dan mulai berproduksi 1958 lalu. Chevron sendiri tidak tiba- tiba berada di blok tersebut.

Lantas apa korelasi antara Industri Hulu Minyak dan Gas (Migas) dengan sejarah Riau? Jawabnya tentu ada. Namun sebelum menuju ke arah itu muncul pertanyaan baru. Apa itu industri hulu Migas? Jika mendengar kata hulu Migas, maka pikiran sebagian orang akan tertuju pada PT Pertamina yang merupakan national oil company.

PT.PERTAMINA Semangkin Gencar mencari Cadangan Baru Minyak dan Gas Agar Produksi meningkat, F: Petro Energy

Alih-alih yang terlintas adalah kilang untuk proses pengolahannya menghasilkan produk seperti bensin, solar, pertamax dan sebagainya untuk bahan bakar. Pikiran ini tidak salah sepenuhnya, memang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ini pada awal didirikannya bergerak di bidang eksplorasi, pengolahan dan pemasaran hasil tambang minyak dan gas bumi di Indonesia.

Tapi, sejak tahun 2003 didirikan BP Migas, atau Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi yang menjalankan fungsi regulasi dari PT Pertamina. BP Migas ini kemudian dibubarkan Mahkamah Konstitusi (MK) pada 13 November 2012 karena dianggap bertentangan dengan UUD 1945.

Untuk menggantikan BP Migas tersebut pemerintah menggantinya dengan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (disingkat: SKK Migas) melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 9 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Pengelolaan Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi.

Memang ada perbedaan tugas antara SKK Migas dan PT Pertamina. SKK Migas bertugas melaksanakan pengelolaan kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi berdasarkan Kontrak Kerja Sama (KKS). Pembentukan lembaga ini bertujuan supaya pengambilan sumber daya alam minyak dan gas bumi milik negara dapat memberikan manfaat dan penerimaan yang maksimal bagi negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Sedangkan PT Pertamina dapat dikatakan sebagai pemain, penyalur atau operator. Sementara SKK Migas (pengganti BP Migas) adalah sebagai pengelola atau regulator.

Pionir

Seperti diketahui industri Migas secara umum melakukan lima tahapan kegiatan, yaitu eksplorasi, produksi, pengolahan, transportasi, dan pemasaran. Lima kegiatan pokok atau kegiatan usaha inti (core business) ini dapat dibagi menjadi dua, yaitu kegiatan hulu (upstream) dan kegiatan hilir (downstream).

Kegiatan usaha hulu Migas adalah kegiatan eksplorasi dan produksi. Sedangkan kegiatan usaha hilir adalah pengolahan, transportasi, dan pemasaran. Nah, untuk eksplorasi membutuhkan rentetan proses panjang mulai dari studi geologi, geofisika, survei seismik, dan terakhir pengeboran (diasumsikan cadangan minyak ditemukan, pen).

Agar produksi minyak mentah hasil pengeboran bisa dibawa keluar dari lapangan minyak dan memudahkan operasional maka dibutuhkan infrasruktur berupa jalan dan jembatan. Itupula yang dilakukan PT Caltex Pacifik Indonesia (sebelum berganti nama menjadi PT Chevron Pacifik Indonesia) dan PT Stanvac (sebelum diakuisisi PT Medco) sebagai representasi industri hulu Migas di Riau pada awal-awal industri itu eksis di bumi lancang kuning.

PT CPI mulai membuat jalan dari daerah administrasi di Rumbai (Pekanbaru) ke area produksi minyak di Minas, Duri dan Dumai. Pada tanggal 19 Maret 1958 jalan raya sekitar 196 kilometer menghubungkan Duri-Dumai terhubung.

Memang, awalnya jalan tersebut untuk operasional PT CPI, tapi sekitar tahun 1960 fasilitas itu dibuka untuk publik atau umum. Selanjutnya sekitar 1980-an jalan itu diaspal seperti yang dijumpai kini dan menjadi jalan nasional, yakni Jalan Lintas Pekanbaru-Dumai.

Lain waktu, mereka pun membangun jembatan terbilang monumental. Ya, Jembatan Siak I atau juga dikenal dengan nama Leighton yang diambil dari nama perusahaan kontraktor pelaksana asal Australia, PT Leighton Indonesia Construction Company.

Tak sekedar jembatan, infrastruktur ini telah menjadi tonggak sejarah bersatunya dua wilayah yang terpisah oleh Sungai Siak, sungai terdalam di Indonesia. Jembatan sarat sejarah yang tak lepas dari peran industri hulu Migas di Riau ini diresmikan oleh Presiden ke-2 Indonesia Soeharto, 19 April 1977.

Ya, infrastruktur ibarat urat nadi yang mengalirkan darah segar untuk menghidupkan raga. Keberadaan infrastruktur diperlukan untuk menghidupkan sebuah wilayah beserta manusia yang berada di dalamnya.

Peran inipula yang dimainkan Chevron dan Stanvac sebagai pionir industri hulu Migas di Riau. Dimana ada sumur minyak, disitu mereka membuat jalan. Ya, bisa dibayangkan Riau tanpa Industri hulu Migas.

Jalan yang awalnya sebatas untuk operasional Caltex itu perlahan tapi pasti berubah pasca terbuka untuk umum. Satu persatu orang pun berdatangan mendirikan pondok di pinggir jalan sekedar mencari peruntungan dengan berjualan dan sebagainya.

Seiring perjalanan waktu berkembang menjadi perkampungan kecil. Selanjutnya berubah menjadi titik pertumbuhan perekonomian baru. Itupula yang terjadi pada wilayah Minas, Kandis, Pinggir, Duri dan Dumai.

Ya, tanpa infrastruktur tidak akan ada pembangunan. Sehingga wilayah tersebut akan selamanya tertinggal dari daerah lainnya.
Masih Potensial dan Salip Blok Cepu.

Memang, berita menjelang dan pasca alih kelola Blok Rokan terbilang “sexsi” diberitakan sejumlah media baik dari luar mau pun dalam negeri mengingat pertistiwa itu terbilang bersejarah.

Apalagi Blok Rokan menjadi sejarah tersendiri dalam industri Migasi tanah air. Lantas, seberapa besar potensi produksi minyak di Blok Rokan dan kontribusinya terhadap target pemerintah pada 2030 mendatang? Mengingat ampir 70 tahun dieksporasi? Pasca Menteri Ekonomi yang kala itu diabat Sumanang Surjominoto meresmikan pengapalan pertma minyak dari Lapangan Minas melalui Sei Pakning sekitar tahun 1952 itu.

Jawaban atas pertanyaan itu salah satunya datang dari Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa. Dikutip dari CNN-Indonesia Fabby Tumiwa memprediksi produksi minyak di Blok Rokan naik menjadi lebih dari 200 ribu-300 ribu barel per hari dalam beberapa tahun ke depan. Secara bertahap, naik menjadi 400 ribu barel per hari pada 2030-2035 mendatang sesuai target SKK Migas.

Artinya, kontribusi Blok Rokan terhadap produksi minyak nasional berpotensi semakin tinggi. Jika saat ini kontribusinya baru 24 persen, maka beberapa tahun ke depan bisa mencapai 25 persen-30 persen.

“Kalau Blok Rokan bisa memproduksi 300 ribu barel per hari pada 2030, artinya ada kenaikan hampir dua kali lipat dari sekarang. Itu bisa berkontribusi 25 persen-30 persen kalau target 1 juta barel tercapai pada 2030,” ujar Fabby, Kamis (12/8).

Namun, lanjut dia, Pertamina perlu berupaya keras untuk menaikkan produksi minyak di Blok Rokan. Salah satunya dengan penerapan teknologi enhanced oil recovery (EOR).

Mengutip laman resmi Pertamina, EOR ialah metode perolehan minyak tahap lanjut dengan cara menambahkan energi berupa material atawa fluida khusus yang tidak terdapat dalam reservoir minyak.

EOR umumnya diterapkan di lapangan minyak yang telah cukup lama diproduksikan (mature field) dengan tujuan mengambil minyak tersisa yang tidak dapat diproduksi dengan metode perolehan primer dan sekunder (water flooding).

Sejumlah teknik EOR yang dikenal sejauh ini adalah injeksi uap panas (steam flooding), injeksi kimia (chemical flooding), dan injeksi gas (gas flooding). “Kalau saya lihat katanya 2024 teknologi EOR baru mulai digunakan,” imbuh Fabby.

Ia mengatakan teknologi EOR umumnya diterapkan di sumur tua. EOR dapat menahan potensi penurunan produksi minyak secara alamiah (natural decline).

“Namun, harus ada investasi dan teknologi untuk menahan natural decline, Blok Rokan harus ada EOR,” ucap Fabby.

Dibagian lain Fabby memproyeksi Blok Rokan akan membalap jumlah produksi minyak di Blok Cepu. Saat ini, posisi Blok Rokan masih menjadi ladang minyak terbesar kedua setelah Blok Cepu.

Jumlah produksi minyak Blok Rokan baru 160 ribu barel per hari pada Juli 2021. Jumlahnya di bawah Blok Cepu yang sudah mencapai 220 ribu barel per hari pada awal Juni 2021.

“Jumlah produksi di Blok Rokan bisa naik lebih dari Blok Cepu karena Blok Cepu saat ini sudah mencapai titik puncak,” ujar Fabby.

Produksi minyak di Blok Cepu, sambung Fabby, berpotensi menurun secara alamiah karena umurnya sudah cukup tua. Dengan begitu, produksi di Blok Cepu sulit dipertahankan di level seperti sekarang.

“Produksi minyak mulai decline (turun secara alamiah), tidak bisa pada tingkat produksi sekarang karena lapangan kan sudah 15 tahun,” terang Fabby.

Fabby Tumiwa mengatakan PHR harus bekerja keras untuk mengembalikan produksi Rokan pada puncaknya yang sempat menyentuh 300 ribu-400 ribu barel per hari.

Masih kata dia, setelah dieksploitasi selama 97 tahun oleh Chevron, ia menyebut Pertamina perlu memaksimalkan berbagai reservoir berkualitas rendah yang selama ini tak disentuh Chevron karena masalah kualitas dan risiko.

Berdasarkan data SKK Migas, ia menyebut target lifting 400 ribu baru dapat tercapai dalam 2035 mendatang. Bila terpenuhi, ia menyebut 25 persen-35 persen dari konsumsi minyak nasional bisa dipenuhi dari Blok Rokan.

Kendati belum dalam waktu dekat, namun ia menilai potensi yang ada di Blok Rokan cukup besar. Kalau berjalan sesuai rencana Pertamina, ia memprediksikan nilai investasi yang digelontorkan bakal dapat diraup kembali oleh BUMN.

Senada, Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan mengatakan dana yang digelontorkan PT Pertamina (Persero) dalam mengambil alih ladang minyak Blok Rokan setimpal dengan potensi minyak bumi yang terkandung.

Blok Rokan diperkirakan memiliki cadangan minyak sekitar 1,5 miliar-2 miliar barel. Cadangan itu setimpal dengan harga US$70 miliar atau sekitar Rp1.008 triliun yang dikeluarkan Pertamina untuk mengelola wilayah kerja minyak dan gas Rokan selama 20 tahun ke depan.

“Saya melihatnya masih cukup worth it karena informasi potensi di sana masih 1,5 miliar-2 miliar barel dan potensi masih cukup besar, tinggal bagaimana dioptimalisasi sama PHR (Pertamina Hulu Rokan),” katanya kepada CNNIndonesia.com, Selasa (10/8).

Mamit mengatakan posisi Blok Rokan yang menjadi ladang minyak terbesar kedua setelah Blok Cepu, akan membantu memenuhi target lifting minyak mentah Kementerian ESDM yang mencapai 1 juta barel per hari (BOPD) pada 2030.

Ini bisa dimaksimalkan mengingat Pertamina menargetkan akan menambah titik sumur pengeboran di Blok Rokan. Sedangkan pengelola sebelumnya, Chevron, hanya mengandalkan lapangan Minas dan lapangan Duri.

Saat ini, rata-rata produksi wilayah kerja tersebut sekitar 160,5 ribu barel per hari atau sekitar 24 persen dari produksi nasional dan 41 juta kaki kubik per hari untuk gas bumi. Angka tersebut, menurut Mamit, masih bisa dinaikkan.

Diperkirakan akan berpengaruh besar terhadap target nasional 1 juta barel per hari pada 2030 mendatang. Pasalnya, terdapat lebih dari 100 lapangan di Blok Rokan yang belum berproduksi secara optimal.

“Chevron kemarin banyak bermain di lapangan besar seperti Minas dan Duri, sedangkan Blok Rokan ini sebenarnya ada lapangan kecil lain yang tidak terlalu digarap oleh Chevron,” ungkap Mamit.

Ia berharap Pertamina sebagai pengelola baru Blok Rokan dapat mengoptimalkan lapangan kecil tersebut. Menurut Mamit, PHR bisa mengaktifkan kembali sumur tua dan mengebor area yang belum terjamah oleh Chevron.

“Jumlah sumur bisa ribuan di Blok Rokan. Ada 120 lapangan, paling besar itu Minas dan Duri. Pertamina ini saya kira bisa mengoptimalkan, jangan sampai produksi turun,” terang Mamit.

Untuk menaikkan produksi di Blok Rokan, kata Mamit, Pertamina mau tak mau mengucurkan dana cukup besar. Dana dibutuhkan untuk mengeksplorasi lebih banyak lapangan dan sumur. “Tapi tetap harus efisien,” jelas Mamit.

Seperti diketahui, Pertamina telah menyiapkan dana lebih dari US$2 juta untuk mendorong produksi minyak dan gas hingga 2025 mendatang. Perusahaan berencana mengebor 161 sumur minyak di Blok Rokan sampai akhir 2021.

Kemudian, Pertamina akan mengebor 500 sumur pada 2022. Hal ini untuk mendukung target pemerintah mencapai produksi minyak 1 juta barel per hari pada 2030 mendatang.

Lebih jauh, ia menilai transisi dari Chevron ke anak usaha PT Pertamina Hulu Rokan tidak akan jadi masalah mengingat BUMN energi tersebut mengambil alih ribuan pekerja Chevron. Pasca alih kelola PHR mengelola wilayah kerja seluas 6.264 kilometer persegi dengan 10 lapangan utama yang terdiri dari, Minas, Duri, Bangko, Bekasap, Balam South, Kotabatak, Petani, Pematang, Petapahan, dan Pager.

Sebelumnya Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati mengatakan perusahaan akan mendukung target pemerintah untuk mencapai target produksi minyak 1 juta barel per hari pada 2030 mendatang, dengan menggenjot produksi minyak di Blok Rokan.

Puncak produksi lapangan Minas terjadi pada tahun 1973 yang mencapai 440 ribu barel per hari. Di Blok Rokan terdapat 96 lapangan minyak. Dari semuanya, tiga lapangan minyak yang memiliki potensi besar, yaitu Duri, Minas, dan Bekasap.

Meskipun sudah miliaran minyak keluar dari bumi Blok Rokan, ladang minyak Blok Rokan diperkirakan masih memiliki cadangan minyak sekitar 1,5 miliar – 2 miliar barel.

Artinya, ketika alih kelola dari Chevron ke Pertamina, potensi minyak bumi yang terkandung di Blok Rokan masih cukup besar. Sejak dulu, Blok Rokan memang menjadi ladang minyak terbesar. Karena itu, produksi minyak dari Blok Rokan masih bisa dioptimalisasi.

Selama ini Chevron Pacific Indonesia hanya mengandalkan lapangan Minas dan Duri di Blok Rokan. Produksi Blok Rokan sempat menyentuh angka 300 ribu – 400 ribu barel per hari. Dengan jumlah produksi itu, kontribusi Blok Rokan terhadap produksi minyak nasional mencapai 45 persen.

Namun, kini produksi Blok Rokan mengalami penurunan. Saat ini rata-rata produksi minyak Blok Rokan sekitar 150,5 ribu barel per hari. Kontribusi terhadap produksi minyak nasional pun turun menjadi 24 persen. Sebagai catatan produksi minyak nasional secara keseluruhan berkisar 700-an ribu barel per hari.

Sikap optimis bahwa wilayah Duri memiliki sumber energi yang potensial datang Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif. Ia berharap PHR bisa melakukan eksplorasi yang masif untuk meningkatkan produksi.
“Sekarang pada posisi 56 ribu barel per hari, khusus Duri. Tentu saja daerah ini masih memiliki sumber [minyak] yang potensial untuk ke depannya,” kata Tasrif saat mengunjungi Duri, Kamis (14/10).

Untuk itu, imbuh Arifin, manajemen Pertamina akan melaksanakan pekerjaan ekplorasi drilling yang masif. Untuk bisa meningkatkan produksi lagi.

Arifin menyebutkan, upaya Pertamina Hulu Rokan dalam menjaga tingkatan produksi di Blok Rokan dinilai harus dilakukan lewat implementasi Chemical Enchanced Oil Recovery (EOR).

“Kalau upaya dulu dengan cara steem flood. Mungkin kedepannya ada upaya Chemical Enchanced Oil Recovery,” katanya seperti dikutip mediacenter.

Dibagian lain Arifin Tasrif meminta PT Pertamina Hulu Rokan melakukan berbagai langkah untuk meningkatkan produksinya.

“Setelah 97 tahun dikelola perusahaan multinasional, Blok Rokan diyakini masih memiliki sumber migas yang potensial untuk ke depannya. Jadi memang manajemen Pertamina harus melakukan pekerjaan eksplorasi drilling yang masif untuk bisa meningkatkan produksi lagi. kalau dulu ada program steam flood mungkin kedepannya ada CEOR,” katanya menambahkan.

Data olahan menyebutkan bahwa Blok Rokan merupakan salah satu WK Migas terbesar di Indonesia. Melalui Keputusan Menteri ESDM Nomor 1923 K/10/MEM/2018, sejak tanggal 9 Agustus 2021 pukul 00.01 WIB, pengelolaan WK Rokan di Provinsi Riau beralih ke PT Pertamina Hulu Rokan (PHR) setelah 80 tahun atau sejak tahun 1951 dikelola PT Chevron Pacific Indonesia (CPI).

Alih kelola itu menjadi tonggak sejarah pengelolaan hulu migas di Indonesia, karena saat ini Blok Rokan menyumbang 24 persen dari total produksi minyak Indonesia. Blok Rokan sendiri penyumbang produksi minyak terbesar nomor 2 secara nasional itu memiliki luas wilayah 6.220,29 kilometer persegi, dengan 10 lapangan utama, yaitu Minas, Duri, Bangko, Bekasap, Balam south, Kota Batak, Petani, Lematang, Petapahan, dan Pager.

Sementara Cadangan status 1 Januari 2020, minyak 350,73 juta stock tank barrel (MMSTB), dan gas bumi 9.071 BSCF. Sedangkan data SKK Migas Wilayah Sumbagut, cekungan Sumatera Tengah mencakup Provinsi Riau, Sumatera Utara bagian selatan, dan sebagian Provinsi Jambi. Cekungan ini dikenal sebagai salah satu penghasil sumber daya minyak dan gas bumi yang terbesar di Indonesia karena terdapat beberapa blok migas.

Empat bentukan khas dari cekungan Sumatera Tengah yaitu Tinggian Kubu (Kubu High), Bukit Barisan (Mountain Front) dan Tinggian Rokan (Rokan Uplift) serta Dataran Pantai (Coastal Plain). Upaya lainnya dalam meningkatkan produksi minyak adalah dengan transformasi R to P atau reserve to production (cadangan untuk produksi), mempercepat Chemical Enhanced Oil Recovery (EOR), dan melakukan eksplorasi agar ditemukan cadangan yang besar.

Sedangkan potensi energi fosil Riau terhitung tahun 2018, dari sektor minyak bumi punya cadangan sebanyak 2,156 juta barel. Potensi ini diperkirakan akan cukup hingga 27 tahun mendatang, jika setiap tahun produksinya hanya sekitar 80 juta barel.

Sementara untuk gas bumi, cadangan yang miliki Riau sebanyak 820,35 Billion Cubic Feet (BCF). Cadangan ini diperkirakan akan cukup hingga 51 tahun ke depan.

Unjuk Gigi

Perlahan tapi pasti keraguan publik terhadap potensi Blok Rokan mulai surna. Ini menyusul PT Pertamina Hulu Rokan (PHR) kapalkan 350.000 barel minyak dari Blok Rokan.

Pengapalan perdana minyak mentah ini menunjukkan bahwa alih kelola WK Rokan dari PT Chevron Pacific Indonesia ke PHR pada 9 Agustus 2021 berjalan lancar.

Peristiwa terbilang berserah itu Sabtu (14/8) atau kurang dari sepekan alih kelola. Pengapalan itu dilakukan dari Dermaga Dumai yang merupakan terminal utama untuk lifting minyak mentah di Wilayah Kerja (WK) Rokan.

Terkait peristiwa bersejarah itu Direktur Utama PT Pertamina Hulu Rokan (PHR) Jaffee Arizon Suardin menjelaskan bahwa pengapalan minyak mentah dilakukan ke dua kapal secara bersamaan.

Masih kata dia,pengapalan pertama berupa Sumatran Light Crude dengan volume mencapai 199.777 barel, menggunakan kapal tanker MT Bull Damai 1 dengan tujuan kilang Pertamina Refinery Unit (RU) IV Cilacap.

Sementara itu, lanjut dia, pengapalan kedua berupa Duri Crude dengan volume 150.386 barel, menggunakan kapal tanker MT Amarin Indah menuju kilang Pertamina RU VI Balongan.

Jaffee mengatakan, pengapalan perdana minyak mentah ini menunjukkan bahwa alih kelola WK Rokan dari PT Chevron Pacific Indonesia ke PHR pada 9 Agustus 2021 telah berjalan dengan lancar.

“Pengapalan untuk penggunaan domestik ini juga merupakan wujud dukungan terhadap pemenuhan kebutuhan energi dalam negeri,” ujar Jaffee dalam keterangan resminya.

Seperti diketahui Sumatran Light Crude (SLC) adalah minyak mentah yang diproduksi dari lapangan-lapangan seperti Minas, Bangko, Bekasap, dan Kotabatak. SLC memiliki karakteristik minyak ringan dengan kadar belerang rendah.

Sementara itu, Duri Crude (DC) adalah minyak mentah yang diproduksi dari Lapangan Duri yang memiliki karakteristik minyak berat (heavy oil). Minyak berat memiliki sifat kental dengan tingkat kepekatan tinggi, sehingga diperlukan teknologi injeksi uap (steam flood) untuk mengangkat lebih banyak minyak jenis itu dari perut bumi.

Produksi minyak mentah dari WK Rokan nantinya akan dialokasikan ke kilang-kilang minyak dalam negeri milik Pertamina, seperti RU II Dumai, RU III Plaju, RU IV Cilacap, RU V Balikpapan dan RU VI Balongan.

Selain pengapalan 350 ribu barel minyak mentah prestasi terbilang membanggakanjuga di toreh PT PHR, yakni kendati baru dua bulan alih kelola. Namun perusahaan milik BUMN itu telah sumbang Rp2,7 triliun ke Negara.

Menyoali hal itu, Menteri BUMN, Erick Thohir menyambut baik capaian Blok Rokan di bawah kendali PT Pertamina Hulu Rokan (PHR). Erick Tohir menilai, Momentum keberhasilan Blok Rokan yang sejak dua bulan dikelola PT Pertamina Hulu Rokan (PHR) mampu menyumbang penerimaan negara ini harus terus ditingkatkan demi membangun ketahanan, kemandirian, dan kedaulatan energi Indonesia.

Masih kata dia, keberhasilan PHR tersebut menjadi bukti kemampuan korporasi pelat merah dalam mengelola sendiri sumber minyak, tidak tergantung operator asing, dan bekerja efisien. Sebelum 9 Agustus 2021, Blok Rokan diketahui dikelola oleh PT Chevron Pacific Indonesia selama 97 tahun.

“Saya mengapresiasi kemampuan Pertamina Hulu Rokan menjawab tantangan dalam mengelola ladang minyak terbesar di Indonesia itu,” kata Erick dalam keterangan tertulisnya, Minggu (7/11).

Erick menyebut terkait kontribusi PT PHR yang selama dua bulan mengelola Wilayah Kerja (WK) Rokan telah menyetor ke negara sebesar Rp 2,1 triliun dan pembayaran pajak sekitar Rp 607,5 miliar melalui penjualan minyak mentah bagian negara.

Tercatat mulai 9 Agustus 2021, Blok Rokan yang telah dikelola selama 97 tahun oleh PT Chevron Pacific Indonesia diambil alih pengelolaannya oleh PT PHR.
“Saya mengapresiasi kemampuan Pertamina Hulu Rokan menjawab tantangan dalam mengelola ladang minyak terbesar di Indonesia itu. Selain menjaga keberhasilan WK Rokan sebagai salah satu penghasil utama minyak nasional, PT PHR juga memberikan multiplier effect terhadap perekonomian nasional, berupa manfaat secara langsung bagi negara dan daerah,” ujarnya menambahkan.

Diketahui, Wilayah Kerja Rokan merupakan penghasil utama minyak nasional dengan kontribusi 25 persen. Blok yang ditemukan tahun 1941 dan mulai berproduksi tahun 1951 berperan penting dalam memenuhi target nasional produksi minyak mentah satu juta barrel oil per day dan 12 miliar standard cubic feet per day di tahun 2030.

“Saya berharap momentum ini terus ditingkatkan sebab terkait energi bagi bangsa dan negara manfaatnya harus ganda. Selain pemenuhan kebutuhan energi nasional, harus mendukung penciptaan lapangan kerja, peluang bisnis bagi pengusaha lokal, maupun peningkatan kesejahteraan masyarakat,” jelasnya.

Sebelumnya, Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati menambahkan, program kerja terhadap Blok Rokan sangat masif dan agresif. Intensitas kegiatan operasi di Blok Rokan meningkat seiring target 161 sumur tajak hingga akhir 2021.

Dalam dua bulan terakhir, sambung dia, PHR telah mengebor lebih dari 79 sumur dan mengoperasikan 16 rig. Operasional tersebut didukung lebih dari 25 ribu pekerja yang sebagian di antaranya merupakan warga lokal Riau.

Kata dia, PHR pun menargetkan 500 sumur tajak pada tahun depan. Nicke berharap peningkatan aktivitas di Blok Rokan tersebut akan mampu meningkatkan denyut aktivitas ekonomi di Riau.

“Hal itu akan berdampak kepada terbukanya peluang bisnis dan kerja bagi masyarakat lokal, sekaligus meningkatkan nilai investasi di Riau. Kami sudah berdiskusi dan berkoordinasi dengan Pemda Riau terkait potensi tambahan pajak bagi daerah agar kontribusi yang kami berikan semakin nyata,” kata Nicke.

Sebelumnya SKK Migas mencatat produksi terangkut (lifting) minyak Blok Rokan pada semester I 2021 ini rata-rata mencapai 160.646 barel per hari (bph) atau 97,4% dari target di dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2021 sebesar 165.000 bph.

Segala Lini Bergerak

Lantas apa multiplie effect atau manfaat berganda industri hulu Migas bagi daerah maupun nasional? Yang terang menjadi penghasil pundi-pundi negara dan juga turut menopang pertumbuhan ekonomi daerah tersebut.

Pentingnya peran Industri hulu minyak dan gas bumi turut memberikan multiplier effect terhadap geliat ekonomi di daerah maupun nasional dikemukakan Deputi Operasi Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Julius Wiratno.

Dia mengatakan, dikutip dari bisnis.com,di level nasional, setiap US$1 juta investasi migas dapat memberikan nilai tambah US$1,6 juta, menambah produk domestik bruto (PDB) US$0,7 juta, dan membuka lapangan kerja bagi lebih dari 100 orang. Kontribusi tersebut di luar penerimaan negara dari sektor hulu migas.

“Selain itu, ada juga dukungan industri hulu Migas pada pembangunan daerah, baik dampak langsung maupun tidak langsung,” katanya dalam webinar yang digelar pada Sabtu lalu. Dia menjelaskan, dampak langsung keberadaan industri hulu migas bagi daerah ini mencakup dana bagi hasil (DBH) migas yang sudah diatur dalam perundang-undangan, jatah hak partisipasi (participating interest/PI) sebesar 10 persen, pajak daerah dan retribusi daerah (PDRD), terciptanya bisnis penyedia barang dan jasa lokal, penyerapan tenaga kerja lokal, dan adanya tanggung jawab sosial.

Di samping itu, fasilitas penunjang operasi migas dapat digunakan oleh masyarakat, serta adanya pasokan gas untuk kelistrikan daerah, bahan bakar industri, dan bahan baku industri turunan. Sementara itu, untuk dampak tidak langsung, disebutnya berasal dari perusahaan penunjang bisnis hulu migas. Rincinya, PDRD bisnis penyedia barang dan jasa lokal, penyerapan tenaga kerja lokal, dan kucuran tanggung jawab sosial (TJS).

Sebagai contoh, lanjut dia, salah satunya Proyek Lapangan Banyu Urip, Blok Cepu memberikan kontribusi hingga Rp2,18 triliun untuk Bojonegoro, Jawa Timur. Industri hulu migas nasional tak sekadar menjadi penghasil pundi-pundi negara. Adanya industri hulu migas di suatu daerah juga turut menopang pertumbuhan ekonomi daerah tersebut. Salah satunya, Proyek Lapangan Banyu Urip, Blok Cepu memberikan kontribusi hingga Rp2,18 triliun untuk Bojonegoro, Jawa Timur.

“Contohnya Proyek Banyu Urip berkontribusi Rp2,18 triliun ke Bojonegoro yang mencakup vendor lokal, tenaga kerja lokal, material lokal, dan lainnya,” ungkapnya.

Julius menambahkan, pembangunan fasilitas produksi Blok Cepu ini melibatkan lebih dari 18.000 pekerja dan 460 sub kontraktor, proyek ini juga mendorong tumbuhnya jasa pendukung seperti hotel, rumah makan, transportasi, dan rumah kontrakan.

“Proyek ini juga berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi lokal di Bojonegoro, dengan contoh 19,47 persen di 2015, mengacu data BPS,” tutur Julius.

Ketua Komisi VII DPR RI Sugeng Suparwoto mengamini besarnya kontribusi industri hulu migas ke perekonomian daerah, utamanya dengan adanya jatah PI 10 persen bagi BUMD. Kepemilikan PI oleh BUMD ini berdasarkan skema bisnis (business to business/b to b), apabila daerah mampu maka bisa mengambil hak saham tersebut.

Namun pemerintah daerah juga bermitra dengan perusahaan jika memang tidak bisa mendanai, atau tidak mengambil jatah ini. Pasalnya, kebutuhan dana untuk mengambil kepemilikan PI ini cukup besar.

“Ini potensi bagaimana migas memberi kontribusi secara langsung dalam perekonomian daerah,” ungkapnya. Menurutnya, pemerintah daerah harus mengubah mental agar dapat menikmati dampak keberadaan industri hulu migas di wilayahnya, yakni dari birokrasi atau politisi menjadi pengusaha. Hal tersebut guna menghindarkan keberadaan migas di daerah hanya menjadi isu politik antar pemegang kekuasaan politik di daerah tersebut, yang ujungnya berdampak pada iklim investasi migas nasional.

“Di migas, apabila pemerintah daerah men-switch mental dari birokrasi, politisi ke pengusaha, saya kira itu peluang besar untuk migas. Ingat, pengelolaan migas memerlukan teknologi canggih dan kapital yang besar, kita masih butuh investor asing,” katanya dilansir bisnis.com.

Sementara itu sebuah hasil studi mengatakan setiap investasi di hulu migas sebesar US$ 1 miliar akan menciptakan multiplier effect dalam menciptakan lapangan kerja baru dan melibatkan sekitar 100 ribu lapangan pekerjaan.

Hasil studi itu juga menyebutkan bahwa Insentif yang diberikan tersebut di atas pada saat pandemi Covid-19, telah berkontribusi bagi industri hulu migas untuk menyerap sekitar 350 ribu tenaga kerja. Ini tentu berkontribusi positif bagi hulu migas lainnya yang diberikan dalam membantu Pemerintah untuk menciptakan lapangan pekerjaan saat pandemi seperti ini. Selain itu, tentunya akan menumbuhkan industry nasional yang akan meningkatkan pertumbuhan perekonomian nasional.

Setali tiga uang menyusul ekses industri hulu, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif menjelaskan, selain sebagai sumber energi, industri hulu migas juga merupakan penggerak perekonomian nasional. “Keberadaan industri migas di berbagai tempat di Indonesia telah mendorong munculnya aktivitas-aktivitas perekonomian lainnya di wilayah tersebut,” terangnya.

Gerakan Sektor Riil

Seperti dikemukakan Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati bahwa program kerja terhadap Blok Rokan sangat masif dan agresif. Intensitas kegiatan operasi di Blok Rokan meningkat seiring target 161 sumur tajak hingga akhir 2021.

Dalam dua bulan terakhir, sambung dia, PHR telah mengebor lebih dari 79 sumur dan mengoperasikan 16 rig. Operasional tersebut didukung lebih dari 25 ribu pekerja yang sebagian di antaranya merupakan warga lokal Riau.

Menyusul keterangan orang nomor satu diperusahaan yang dulu berlogo kuda laut ini, pemerhati ekonomi Kota Dumai Arif Azmi SE menjelaskan bahwa korelasi dari aktivitas industri hulu Migas pada dasarnya menggerakan sektor riil.

“Sektor riil salah satu definisinya adalah sektor ekonomi yang ditumpukan pada sektor manufaktur dan jasa juga menggambarkan kondisi perekonomian dipandang dari berbagai sisi permintaan dan penawaran barang serta jasa. Oleh karena itu sektor riil bisa disebut juga dengan istilah pasar barang. Ya, contohnya warung, rumah makan, jasa transportasi serta lain-lainnya. Bayangkan saja jika 25000 pekerja itu membelanjakan uang sebesar Rp50 ri bu perhari berapa uang berputar di tengah masyarakat,” papar Arif kepada Dumai Pos News (DPN) Rabu.
Artinya, sambung cendikiawan muda ini, sektor itu akan bergerak jika ada pemasukan atau uang dan seterusnya beredar di tengah masyarakat.

Lantas darimana uang itu datang? Arif menjelaskan bahwa uang itu berasal dari para pekerja di sektor industri hulu Migas termasuk jasa angkutan seperti supir tangki dan lainnya.
Selanjutnya, sambung dia, mereka membelanjakan uang tersebut untuk keperluan konsumtif plus kebutuhan sekunder dan tersier.

Namun bergeraknya sektor riil, lanjut alumni salah satu perguruan tinggi terkemuka di Pekanbaru ini, adanya korelasi antara industri hulu Migas, hilir dan turunannya. “Dengan membaiknya harga minyak termasuk meningkatnya produksi plus investasi notabene tercipta lapangan baru otomatis pekerja baru itu menerima gaji setiap bulannya juga menjadi pemacu bergeraknya sektor riil. Dan perlu dicatat mata rantai itu berakhir di pelabuhan melalui kegiatan pengapalan, dan di pelabuhan juga melibatkan banyak orang,” terangnya.

Memang, lanjut Arif, harga minyak mentah relativ berflutuaksi yang dipengaruhi beberapa instrument termasuk imbas pandemi. “Kendati begitu selama pompa angguk bekerja atau menghasilkan selama itupula ada pendapatan bagi pekerja. Selanjutnya terjadi transaksi jual beli dan sebagainya,” terangnya.
Arif pun berilustrasi 25 ribu pekerja yang terlibat di Blok Rokan membelanjakan Rp50 ribu perhari notabene berapa banyak uang yang beredar di tegah masyarakat.

“Ya, semakin banyak beredar adau ada di tengah masyarakat otomatis sektor riil bergerak cepat dan ini juga berpengaruh terhadap daya beli masyarakat,” ingatnya.

Oleh karena itu, imbuh Arif, sudah saatnya publik memberi dukungan terhadap alih kelola tersebut. Pacu Pertumbuhan . Sejumlah kalangan berpendapat bahwa bergeraknya sektor riil berbanding lurus dengan pertumbuhan. Ya, pertumbuhan ekonomi adalah sebuah proses dari perubahan kondisi perekonomian yang terjadi di suatu wilayah atau negara secara berkesinambungan untuk menuju keadaan yang dinilai lebih baik selama jangka waktu tertentu.

Boleh dikatakan kegiatan ekonomi sektor riil sangat penting, karena sangat erat kaitannya dengan konsumsi, pekerjaan dan pendapatan. Dengan kata lain peningkatan kapasitas atau produksi di sektor riil akan mengurangi tingkat pengangguran dan meningkatan pendapatan, yang pada gilirannya akan memacu pertumbuhan ekonomi.

Pendapat ini diaminkan oleh pemerhati ekonomi lainnya, Ilham Apanda SE.
Menurut dia industri hulu hingga hilir Migas menjadi pemantik bergeraknya sektor riil dan pemacu pertumbuhan ekonomi.

Ilham pun mengutip teori konsumsi James Dusenberry yang mengemukakan bahwa jumlah konsumsi seseorang dan masyarakat tergantung dari besarnya pendapatan.

“Ini salah satu efek bahwa sektor tersebut memberikan kontribusi dalam mendorong perkembangan dan pertumbuhan ekonomi,” katanya

Masih kata dia, akibat adanya pendapatan dan pola konsumtif para pekerja disektor industri hulu dan hilir Migas alih-alih sektor riil pun bergerak yang muara akhirnya memacu pertumbuhan ekonomi.

“Karena itu semua sektor menjadi hidup, mulai dari pasar tradisional, modern, jasa angkutan, pemondokan termasuk hotel, kuliner dan sebagainya,” terangnya.

Menurut cendikiawan muda ini kehadiran sektor industri hulu dan hilir Migas juga menjadi pemantik bagi pertumbuhan ekonomi daerah dan kawasan regional. Diantaranya jiran tetangga Duri seperti Dumai, Kabupaten Bengkalis, Kabupaten Rokan Hilir (Rohil) dan sejumlah wilayah lainnya di Bumi Lancang Kuning.

“Tidak hanya itu saja, imbasnya secara tidak langsung bisa dirasakan provinsi jiran Riau. Diantaranya, Provinsi Sumatera Utara (Sumut) dan Sumatera Barat (Sumbar). Jika pertumbuhan ekonomi Duri meningkat atau tinggi maka daya beli masyarakat pun meningkat otomatis produk pertanian dan sebagainya yang dihasilkan wilayah jiran Duri maupun yang termasuk kawasan Blok Rokan akan mudah diserap pasar. Disisi lain memudahkan warga mereka untuk mencari peruntungan, apakah itu disektor formal mau pun informal,” jelasnya panjang lebar.

Ilham berpendapat untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi disebuah daerah maka diperlukan empat aksi atau langkah. Pertama, peningkatan usaha-usaha mikro kecil dan menengah yang berpotensial.

Kedua, mendorong peningkatan usaha BUMD dalam memenuhi kesejahteraan sosial. Ketiga, membuka industri padat karya untuk mengurangi pengangguran dan terakhir meningkatkan investasi. “Semuanya ada di industri hulu Migas,” katanya.

Apalagi cadangan minyak pada Wilayah Kerja (WK) Rokan masih besar dan menjanjikan untuk dikembangkan lebih lanjut sampai lebih dari 20-30 tahun ke depan. Jelas ini menjanjikan kemakmuran bagi anak negeri.
Kendati telah dieksporasi puluhan tahun. Namun tidak bisa dipungkiri, ladang minyak Blok Rokan menjadi tumpuan negeri yang terletak di garis khatulistiwa itu. Alih-alih ada asa disana. Paling tidak, bisa mengurangi ketergantungan dan jerat impor BBM dari luar. Ya, diharapkan mampu mewujudkan ketahanan energi nasional.

Ya, sejarah Riau kontemporer tidak bisa dipisahkan dari sebuah evolusi dari apa yang dinamakan industri hulu Minyak dan Gas (Migas). Mulai dari jaman kolonial Hindia Belanda sampai pendudukan Jepang hingga jaman kemerdekaan. Semuanya berawal dari tetesan “emas hitam” (baca : minyak bumi), yang bermetaformosis membentuk komunitas lintas suku, agama dan ras yang memiliki tujuan sama, demi kehidupan lebih baik bagi generasi penerus anak negeri, dan itu tercipta tatkala manusia dan alam saling memahami peran. Itulah yang terjadi di Wilayah Kerja (WK) Blok Rokan ***