FEATURE: Saat BBM Langka Ditingkat Pengecer, Harga Pertalite Dibandrol Rp 15000 Perliter

PEMERINTAH melalui Keputusan Menteri ESDM Nomor 37./2022 tentang Jenis Bahan Bakar Minyak Khusus Penugasan, resmi mengubah status BBM RON 90 atau Pertalite menjadi bahan bakar khusus penugasan pengganti Premium.

Oleh karena itulah, PT Pertamina (Persero) melarang pembelian Pertalite menggunakan jeriken di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU), hal ini upaya untuk memastikan penyaluran Pertalite tepat sasaran.
Dan sejalan dengan itu muncullah aturan pelarangan untuk melayani pembelian JBKP Pertalite dengan jeriken ini telah sesuai juga dengan Surat Edaran Menteri ESDM No. 13/2017 mengenai Ketentuan Penyaluran Bahan Bakar Minyak melalui Penyalur.

Kongkowkuy

Pasca kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) oleh pemerintah pusat serta adanya larangan untuk pembelian dengan menggunakan jiriken itu sejauh ternyata membawa dampak buruk bagi warga masyarakat, khususnya didaerah-daerah yang tidak memikiki Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU).

Kenaikan harga BBM serta munculnya aturan larangan pembelian dengan menggunakan jirigen itu sejauh ini juga berdampak pada penjual minyak eceran di sekitaran kota Bagan Batu.

Untuk tingkat pengecer, Pertalite ditawarkan dengan harga Rp 13 ribu perliter. Sementara untuk pembelian langsung ke SPBU hanya dipatok dengan harga Rp 10 ribu perliter.

” Ya kita harus pandai-pandailah, misalnya kalau pas ada minyak di SPBU kita isi tangki sepeda motor kemudian sampai rumah kita suling. Repot, tapi bagaimana lagi, kasihan juga kalau ada orang mencari minyak, ” ujar Harianja salah seorang pedagang minyak eceran.

Padahal, lanjut pria bertubuh tambun ini lagi munculnya larangan jirigen itu membuat para ‘pelangsir’ minyak menggunakan mobil.

” Banyak mobil-mobil yang tetap melangsir minyak kok. Biasanya mereka hanya membeli minyak satu kali di satu SPBU. Sementara ditempat kita ada 4 SPBU jadi jelas 4 kali mereka bisa isi. Nah kalau itu disuling ke jirigen sudah dapat berapa jirigen, ” ungkapnya lagi.

Hal yang paling ‘mengenaskan’ itu seperti yang dirasakan oleh warga masyarakat yang tinggal di daerah pesisir kabupaten Rokan Hilir.

Akibat adanya larangan untuk penjual eceran, ternyata bukan hanya para nelayan saja yang merasakan, melainkan masyarakat yang bekerja sebagai petani dan kebun juga turut merasakan.

” Sejak minyak naik harganya, terus adanya larangan menjual eceran, seolah-olah semakin lengkaplah derita kami yang tinggal didaerah-daerah pedalaman ini, ” ujar Fitra (42) warga Wesel VI kecamatan Kubu Babusalam (Kuba).

Pasalnya, sejak adanya kenaikan harga serta munculnya larangan itu membuat para pemilik kios-kios pengecer tidak berani menjual minyak jenis pertalite dan bio solar.

” Andaikata ada yang nekad berjualan, itupun sudah ditawarkan dengan harga mahal, yakni Rp 15 ribu perliter untuk jenis pertalite. Hal ini jelas memberatkan para penduduk yang jauh dari SPBU, ” ungkapnya lagi.

Sementara itu, Wahyudi warga lainnya menambahkan, bahwa tidak adanya jual minyak eceran ini disebabkan adanya penangkapan along-along minyak diduga melakukan penimbunan BBM subsidi, sehingga saat ini tidak ada lagi yang namanya along-along.

“Kemarin kan ada yang ditangkap di sekitar Jembatan Pedamaran, makanya sekarang tak ada lagi (BBM) eceran,” sebut Wahyudi.

Terpisah, Amat warga Kecamatan Sei Daun kecamatan Pasir Limau Kapas mengaku kesulitan mendapatkan BBM jenis pertalite. Sebab, daerahnya sangat jauh dari SPBU sehingga tidak memungkinkan untuk isi minyak ke SPBU.

“Sekarang semua sulit. Harga mahal, barangnya tidak ada. Hanya boleh beli di SPBU sementara daerah kami jauh dari SPBU. Belum lagi untuk kebutuhan kendaraan langsir hasil panen. Jadi sekarang ini masyarakat dibuat susah oleh kebijakan pemerintah ini,” tukasnya kesal.

Sementara itu menurut Muhammad Nasir salah seorang along-along mengatakan, sejak adanya larangan itu dirinya tidak lagi membawa pesanan BBM untuk pengecer yang ada di pedalaman.

” Nggak berani, takut ditangkap. Padahal saya hanya mengantarkan pesanan saja, jirigen-jirigen itu sudah berisi minyak ditempatnya, jadi saya hanya mengambil dan kemudian mengantarkan kedaerah Wesel sampai perbatasan Kubu, “ujarnya.

Menurutnya, pekerjaan yang telah ditekuninya selama setahun terakhir harus terhenti akibat adanya larangan yang tak berpihak tersebut.

” Jelas rugi, karena dengan pekerjaan itu setidaknya dapat membantu pendapatan walau tidak setiap hari kita kerjakan. Tapi karena ada aturan itu ya mau tidak mau harus berhenti, karena takut kalau ditangkap, ” tuturnya. (Parmin)