Kasus Brigadir Joshua Jadi Pertaruhan Wajah Kepolisian

JAKARTA (DUMAIPOSNEWS)- Penyelesaian kasus meninggalnya Brigadir Joshua secara transparan dan akuntabel menjadi pertaruhan untuk menjaga kredibilitas institusi Polri sebagai institusi penegak hukum.

Hingga saat ini, Tim Polri telah melakukan sejumlah upaya, mulai dari melakukan otopsi ulang terhadap jenazah, pemeriksaan sejumlah saksi, pemeriksaan video rekaman CCTV di sejumlah lokasi, dan telah ada yang ditetapkan sebagai tersangka.

Kongkowkuy

“Berbagai fakta-fakta hukum tersebut perlu untuk terus dibuka secara terang benderang kepada masyarakat dan tentu tidak boleh ada yang ditutup-tutupi,” ujar Pegiat HAM dan Ketua Forum De Facto, Feri Kusuma dalam keterangan tertulisnya pada JawaPos.com (Grup Dumai Pos), Minggu (7/8).

Menurutnya, pengungkapan kasus ini memang diperlukan suatu proses dengan penuh ketelitian, ketepatan, kepekaan dan harus benar-benar sesuai prosedur penanganan perkara hukum, dengan tetap menempatkan penghormatan terhadap hak setiap warga negara dalam suatu negara hukum.

Oleh karena itu, lanjutnya, Tim Khusus Mabes Polri perlu terus bekerja secara profesional, transparan, dan akuntabel untuk membuktikan fakta kebenaran atas peristiwa ini kepada publik.

Feri juga menjelaskan, penuntasan kasus kematian Brigadir Joshua, juga merupakan bagian penting dari agenda mengoptimalkan reformasi kepolisian itu sendiri. Secara historis, proses perubahan politik 1998 memang telah mendorong dijalankannya reformasi kepolisian sebagai bagian dari agenda reformasi sektor keamanan.

“Agenda ini salah satunya bertujuan mendorong adanya penghormatan pada prinsip-prinsip negara hukum dan hak asasi manusia di dalam institusi-institusi keamanan yang ada, termasuk kepolisian,” ujarnya.

Namun, proses reformasi kepolisian masih menyisakan pekerjaan rumah yang perlu diselesaikan. Salah satu persoalan yang perlu dibenahi adalah terkait penggunaan senjata api yang tidak proporsional dan berlebihan yang berdampak pada terjadinya aksi-aksi kekerasan yang berlebihan.

Hal ini, kata Feri, tentu tidak terlepas dari minimnya pemahaman dan kesadaran terhadap berbagai instrumen hukum yang berlaku. Aparat Kepolisian perlu memahami dan menerapkan secara ketat Resolusi Majelis Umum PBB No. 34/169 mengenai prinsip-prinsip berperilaku bagi aparat penegak hukum yang dituangkan dalam Code of Conduct Law Enforcement dan UN Basic Principle on the Use of Force and Fireams by Law Enforcement Officials mengenai penggunaan kekerasan dan penggunaan senjata api.

“Ada tiga asas esensial dalam penggunaan kekuatan dan senjata api yang penting untuk diperhatikan polisi yaitu asas legalitas (legality), kepentingan (necessity) dan proporsional (proportionality),” jelasnnya.

Sungguh pun penggunaan kekerasan dan senjata api tidak dapat dihindarkan, namun aparat penegak hukum tetap perlu mengendalikan sekaligus mencegah dengan bertindak secara proporsional berdasarkan situasi dan kondisi lapangan.

Sebab, penyalahgunaan kekerasan dan senjata api dapat mengakibatkan petugas mendapatkan masalah, apalagi yang mengakibatkan kematian. Penyalahgunaan kewenangan ini bisa mengakibatkan pelanggaran pidana sekaligus pelanggaran atas harkat dan martabat manusia.

Untuk itu, Reformasi Polri perlu terus didorong mulai dari reformasi pada level instrumental maupun reformasi pada aspek kultural.

“Reformasi kepolisian diperlukan untuk menempatkan institusi kepolisian untuk dapat bekerja dalam koridor prinsip negara hukum yang menghormati due process of law dan penghormatan atas hak hak asasi manusia,” pungkasnya.(jpg)