BBN, Asa Terakhir Petani Sawit Dumai  Wujudkan Mimpi Melalui Inovasi dan Teknologi Anak Negeri  

SESEKALI senyum  penuh makna menyembul  dari bibir Tugiyanto tatkala ayah dari tiga anak ini membaca sebuah berita media on line melalui telpon seluler berteknologi android di ke diamannya,  Jalan Syeh Umar,  Kota Dumai, Provinsi Riau, Sabtu sore  kemarin.

Tampak pria berambut lurus itu begitu serius membaca berita tersebut. Alih-alih,  dia pun tak sadar dengan kehadiran Dumai Pos News (DPN, satu group dengan media cetak Dumai Pos, red) di teras rumahnya merangkap kedai  jamu dan bandrek.

Kongkowkuy

Penasaran, DPN pun bertanya berita apa yang membuat pria jebolan salah satu akademi di Kota Solo, Provinsi Jawa Tengah (Jateng) larut  dalam keseriusan yang begitu mendalam sampai-sampai tidak mengetahui kehadiran DPN.

Tanpa membuang waktu, Tugiyanto pun menuturkan berita terkait inovasi Cruide Palm Oil (CPO) yang diolah sedemikian rupa di kilang Pertamina Refinery Unit  (RU) II Dumai sehingga menjadi Bahan Bakar Nabati (BBN) D100 atau green diesel.

Tugiyanto begitu antusias menceritakan inovasi baru dengan teknologi  baru, tentunya. Ya, ada sepenggal asa di bola mata pria itu.

Wajar, mengingat harga Tandan Buah Segar (TBS) sawit kerap  berfluktuasi, bahkan anjlok sehingga tidak ekonomis lagi. Padahal, tanaman sawit seluas 2 hektar dari total 6 hektar kebun miliknya yang berlokasi di Kampung Mampu, Kelurahan Lubukgaung, Kecamatan Sungai Sembilan, Kota Dumai itu menjadi sandaran hidupnya.

“Bagi petani seperti saya ini, program D100  membawa berkah tersendiri. Semoga harga TBS naik dan  stabil,” kata Tugiyanto menjawab pertanyaan DPG.

Dibanding koleganya yang juga  petani sawit. Tugiyanto masih bisa bernapas dikala  harga TBS  terjun  bebas ke titik nadir. Beruntung    kedai jamu dan bandrek bisa dijadikan penopang ekonomi sehingga dapurnya masih tetap mengepul.

Namun sebelum melanjutkan penuturan Tugiyanto seputar D100 berikut pernak-perniknya plus  sejumlah kalangan menjadi nara sumber tulisan ini, maka DPG menilai tidak ada salahnya pembaca mengatahui definisi dan istilah seputar Bahan Bakar Nabati (BBN). Ya,  sekedar berbagi informasi.

Memang, dalam beberapa  waktu  terakhir ini publik di tanah air terlebih Kota Dumai melalui sejumlah media massa disuguhkan  istilah-istilah seperti B30,  B100 dan D100. Ya, jika mendengar  istilah-istilah itu maka pikiran sebagian  orang akan tertuju kepada  kelapa sawit. Alih-alih yang terlintas adalah pohon  asal Benua Afrika itu. Pikiran ini tidaklah salah sepenuhnya.

Seperti diketahui angka di belakang huruf B dimaksudkan buat menyatakan persentase Bio-Diesel, yang dicampur dengan diesel fuel (minyak solar). Ambil contoh, B30 berarti  bio solar dimana campuran 30 persen Fatty Acid Methyl Ester (FAME) dan 70 persen campurannya adalah solar.

Sementara B100 merupakan istilah untuk bio diesel yang merupakan bahan bakar nabati untuk aplikasi mesin atau motor diesel FAME, yang juga melalui proses esterifikasi, proses pemindahan alkohol dari ester. Namun yang digunakan sebagai katalis (suatu zat yang digunakan untuk mempercepat laju reaksi) adalah alkohol atau metanol.

Sedangkan green diesel atau diesel biohidrokarbon (D100), merupakan hasil dari olahan  Refined, Bleached and Deodorized Palm Oil Bleached and Deodorized Palm Oil (RBDPO) , yakni minyak kelapa sawit atau Cruide Palm Oil (CPO), yang telah diproses lebih lanjut sehingga hilang getah, impurities dan baunya. Pengolahan RBDPO menjadi D100 di kilang Dumai, misalnya, merupakan hasil reaksi RBDPO dan gas  hidrogen dengan bantuan katalis.

Bagi sebagian besar publik di wilayah yang didiami lebih 300 ribu jiwa itu, istilah-istilah tersebut tidaklah terasa asing.  Apalagi sejumlah media cetak, on line dan elektronik lokal mau pun nasional mengekpos peristiwa tersebut.

Mengingat wilayah yang berhadapan  dengan  jalur internasional Selat Malaka ini mencatat dua peristiwa bersejarah terkait   inovasi yang dilakukan PT Pertamina (Persero) menyusul pengelolahan Bahan Bakar Nabati (BBN).

Pertama, Kamis (16/5/19),  kala itu  Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristek Dikti) dan Direktur Jenderal (Dirjen) Penguatan Inovasi Kemenristekdikti Jumain Appe mengunjungi Pertamina Refinery Unit RU II Dumai terkait keberhasilan produksi green diesel atau solar nabati D10 dengan kandungan 87,5 persen solar minyak bumi dan 12,5 persen minyak sawit.

Tidak butuh waktu lama, tepatnya Rabu (15/7/20), Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita , Direktur Utama Pertamina (Dirut) Nicke Widyawati dan rombongan mengunjungi wilayah yang terletak sekitar 200 kilometer arah utara Kota Pekanbaru ini.

Kedatangan mereka ke fasilitas eksisting Pertamina RU II Dumai untuk melihat produksi  green diesel atau diesel biohidrokarbon (D100) yakni pegelolahan 100 persen minyak sawit hasil dari proses RBDPO, 1000 barel per hari (BPH).

Pengolahan RBDPO menjadi D100 di kilang Dumai merupakan hasil reaksi RBDPO dan gas  hidrogen dengan bantuan katalis berteknologi tinggi  yang diberi nama merah putih, yaitu  merupakan karya kebanggaan anak negeri hasil pengembangan yang dilaksanakan di Research and Technology Center (RTC)  Pertamina bersama Institut Teknologi Bandung (ITB).

Lantas bagaimana komentar pejabat negara ini pasca menjajal hasil teknologi anak negeri itu? Agus pun menilai kendaraan  menghasilkan performa mesin yang baik dan ramah lingkungan plus suara mesin terbilang halus. “Ini sekaligus sosialisasi hasil uji coba pengolahan RBDPO 100 persen,” katanya.

Selama perjalanan tidak ada excessive noise, tarikan mesin lebih bertenaga dan asap buang knalpot tetap bersih meskipun  RPM tinggi. Dengan performa yang lebih baik notabene akan lebih hemat dari sisi penggunaan bahan bakar maupun perawatan mesin.

Dari hasil uji lab milik Pertamina menunjukan bahwa angka cetane (angka untuk menunjukan kualitas bahan  bakar diesel, red) terbilang tinggi 79. Sehingga diyakini dapat menghasilkan performa kendaraan yang lebih baik sebagai campuran bahan bakar . Sementara hasil uji emisi kendaraan menunjukkan opacity (kepekatan asap gas buang) turun menjadi 1,7 terbilang sangat rendah.

Menyinggung angka cetane, Kepala UPT Pengujian Kendaraan Bermotor Dinas Perhubungan Kota Dumai, Efendi menjelaskan bahwa BBM dapat dikategorikan ramah lingkungan bila memiliki cetane number atau nilai cetane tinggi.

Menurut dia, nilai cetane sangat menentukan efisiensi pembakaran. Semakin tinggi nilai cetane maka kian sempurna karena lebih mudah terbakar sehingga carbon yang tersisa semakin kecil dan aman bagi lingkungan.

“BBM ramah lingkungan bisa diketahui dari cetane numbernya. Semakin tinggi maka semakin baik karena akan menghasilkan pembakaran yang sempurna, itu yang kita harapkan untuk mengurangi pencemaran lingkungan,” ujar Efendi seraya menambahkan bahwa tingginya nilai cetane juga berbanding lurus dengan power yang dihasilkan kendaraan semakin maksimal.

Sehari sebelumnya,  juga dilakukan uji coba kendaraan menempuh 200 kilometer, dengan salah satunya menjajal Jalan Tol Trans Sumatera (JTTS) Ruas Pekanbaru-Dumai  sekitar 131,48 kilometer.

Lantas bagaimana respon publik Kota Dumai terkait dua peristiwa bersejarah seputar inovasi yang dilakukan Pertamina itu?

Yang terang inovasi itu diyakini sejumlah kalangan di tanah air akan mewarnai kemajuan Energi Baru dan Terbarukan (EBT) masa depan bangsa yang terletak di zamrut khatulistiwa itu?

Walikota Dumai Drs H Zulkifli AS, misalnya, menyebut bahwa keberhasilan itu merupakan langkah besar yang patut dibanggakan.

“Kita memberikan apresiasi terhadap keberhasilan uji coba pengelolahan  RBDPO menjadi green diesel nabati dengan teknologi co processing di Kilang Pertamina RU II Dumai. Apalagi kita mengetahui D100 merupakan 100 persen menggunakan CPO  dengan memakai katalis Merah Putih buatan  putra-putri Indonesia. Hasil ini tentu sangat membanggakan kita,”
katanya.

Zulkifli AS mengakui dengan keberhasilan ini diharapkan akan mampu menciptakan kemandirian energi.  “Kita mengetahui bahwa minyak bumi terbatas dan tidak bisa diperbarui. Dengan keberhasilan ini tentu kita berharap  ke depan terciptanya kemandirian energi,” ungkapnya.

Disisi lain, sambung dia,  keberhasilan ini memotivasi anak-anak  Dumai untuk berpacu menguasai Iptek melalui belajar dengan sungguh-sungguh. ” Ya, ke depan kita harapkan generasi muda kita mampu menguasai Iptek. Karena persaingan antar bangsa sangat ketat, dan yang menguasai Iptek akan unggul dengan tentunya tidak melupakan Iman dan Takwa (Imtak),” ingatnya.

Dua Sasaran

Keberhasil inovasi D100 di fasilitas eksiting Kilang Pertamina RU II Dumai ini memiliki banyak arti bagi Negara yang berpenduduk lebih dari 250 juta jiwa ini. Namun secara garis besar ada dua sasaran yang dibidik pemerintah, memaksimalkan peran kelapa sawit sebagai energi terbarukan yang ramah lingkungan. Disisi lain, sebagai salah satu upaya pemerintah meningkatkan kesejahteraan petani.

Terakhir mengurangi impor Bahan Bakar Minyak (BBM)  yang menjadi penyumbang terbesar  defisit neraca dagang atau Current Account Deficit (CAD) plus terwujudnya kemandirian, ketahanan dan kedaulatan energi sebagai muara akhir inovasi tersebut.

Terkait CAD , Prof Subagio,  ketua tim peneliti katalis merah putih dan pakar BBN dan turunannya , mengungkapkan bahwa saat ini Indonesia mengimpor 360.000 barel minyak mentah per hari atau setara 41 persen kapasitas kilang minyak Pertamina, juga, 400.000 ribu BBM atau sekitar 30 persen kebutuhan nasional.

“Ini menjadi sumber defisit anggaran yang terbesar. Padahal, kita bisa memanfaatkan sawit dan kita adalah penghasil sawit terbesar di dunia,” ingatnya.

Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan impor hasil minyak periode Januari-Oktober 2019 mencapai US$ 11,2 miliar.  Sedangkan  hasil ekspor hasil minyak hanya US$ 1,6 miliar. Artinya negara tekor US$ 9,6 miliar.

Angka itulah yang menyebabkan neraca dagang RI periode 10 bulan 2019 mebukukan defisit sebesar US$ 1,7 miliar karena neraca dagang Migas menyumbang defisit sebesar US$ 7,3 miliar disaat neraca dagang non-migas surplus US$ 5,5 miliar.

Sebelumnya Menperin  Agus Gumiwang Kartasasmita mengatakan, pengembangan industri diesel hijau merupakan salah satu program pemerintah untuk meningkatkan kelas petani rakyat sebagai stakeholder utama industri sawit nasional.  Artinya, program ini akan lebih banyak memberikan kesejahteraan bagi para petani kelapa sawit.

Program itu, sambung dia,  merupakan bagian  mandatory biodiesel dan green diesel, termasuk B30 dan D100, telah dirancang dan dijalankan secara konsisten untuk mencegah turunnya harga CPO global akibat fenomena oversupply dunia.

Lebih jauh lagi, kestabilan harga CPO global akan diwujudkan menjadi kestabilan harga beli Tandan Buah Segar (TBS) di tingkat petani sehingga menjamin keberlanjutan kehidupan petani.

Yang takkalah pentingnya, lanjut Menperin, inovasi tersebut menjadi momen tepat untuk menyampaikan pesan  bahwa Indonesia akan mandiri dalam penyediaan energi nasional di tengah maraknya kampanye negatif terhadap minyak sawit Indonesia oleh Uni Eropa dan negara importir lainnya.

Tak berlebihan jika sejumlah kalangan memprediksi  keberhasilan produksi D100 akan menimbulkan ekses luar biasa terhadap kesejahteraan petani sawit di tanah air.

Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmita dan Direktur Utama (Dirut) PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati menaiki mobil berbahan bakar nabati (D100) dari Bandara Pinang Kampai ke Kilang Pertamina RUU II Dumai, Rabu (15/7).Foto : Ist/Net

Ini menyusul kerap diboikotnya produk Cruide Palm Oil (CPO) Indonesia oleh Uni Eropa (UE) serta   sejumlah negara lainnya dengan mencuatkan isu lingkungan, minyak sawit  kurang baik bagi kesehatan dan lainnya yang berujung berfluktuasi harga komoditas itu di pasar dunia dan berimbas terhadap harga TBS ditingkat petani .

Padahal bukan rahasia umum lagi, kondisi ini diduga dipicu perang antara komoditas minyak nabati tepatnya antara minyak sawit versus minyak bunga matahari dan gandum sebagai representasi benua Eropa.

Namun dibalik sukses inovasi green diesel maupun bio diesel maka nama Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak bisa dlepaskan dari EBT berbasis kelapa sawit. Paling tidak dalam kurun waktu lima tahun terakhir mimpi mantan Gubernur DKI menjadikan kelapa sawit sebagai salah satu bagian dari Energi Baru dan Terbarukan (EBT) terwujud.

Catatan DPG dalam sejumlah kesempatan Presiden Jokowi terus menerus menggaungkan perlunya Pertamina melakukan inovasi terkait EBT seperti program B30, B40, B50 dan D100,. Bahkan Jokowi mengaku  memonitor secara khusus, dari hari ke hari, dari bulan ke bulan terkait capaian EBT berbasis kelapa sawit.

Jokowi pun mengaku punya alasan tersendiri mengapa ia harus melakukan percepatan implementasi program biodiesel  mau pun green diesel?

Yang pertama, Indonesia berusaha untuk mencari sumber-sumber energi baru terbarukan, energi terbarukan, dan negeri dengan   dua musim ini  harus melepaskan diri dari ketergantungan pada energi fosil yang  suatu saat pasti akan habis.

Kedua,  ketergantungan Indonesia pada impor BBM, termasuk di dalamnya solar terbilang tinggi. Sementara di sisi lain Indonesia merupakan negara penghasil sawit terbesar di dunia.

Dengan potensi sawit sebesar itu, kata Jokowi, negeri berbilang suku, kepercayaan dan ras ini punya banyak sumber bahan bakar nabati sebagai pengganti bahan bakar solar.

Kata Jokowi lagi, potensi itu harus dimanfaatkan Indonesia untuk mendukung ketahanan dan kemandirian energi nasional. Usaha-usaha untuk mengurangi impor, khususnya solar dilakukan dengan serius.

Untuk  yang satu ini, Jokowi punya kalkulasi sendiri. Paling tidak negeri kepulauan ini jika konsisten menerapkan EBT  akan menghemat devisa kurang lebih Rp63 triliun, jumlah yang terbilang sangat besar.

Terakhir, yang tidak kalah pentingnya, ingat Jokowi, penerapan EBT akan menciptakan permintaan domestik akan CPO yang sangat besar. Selanjutnya menimbulkan multiplier effect terhadap 16,5 juta petani pekebun kelapa sawit di tanah air.

Terkait implementasi EBT berbasis CPO,  Pertamina menargetkan penghematan devisa sebesar Rp 63,4 triliun dengan serapan tenaga kerja sebanyak 1,2 juta orang.

Tak hanya berdampak pada para petani gurem atau  kecil maupun menengah, dan petani rakyat yang selama ini membudidayakan  sawit, serta para pekerja yang bekerja di pabrik-pabrik kelapa sawit.

Namun Jokowi yakin program EBT berbasis CPO ini membuat Indonesia tidak akan mudah ditekan-tekan oleh negara manapun, terlebih melalui kampanye negatif yang dilakukan beberapa negara terhadap ekspor CPO indonesia “Karena kita memiliki pasar dalam negeri yang sangat besar,” tegasnya.

Lantas timbul  pertanyaan, seberapa besar peran EBT seperti B30, B50, B100 hingga D100   menjadi penyelamat industri sawit di tanah air?

Menjawab pertanyaan itu, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Joko Supriyono optimis kebijakan pemerintah terkait implementasi EBT seperti biodiesel dan  green diesel  akan membuat produksi CPO bakal terus diserap untuk ketahanan energi nasional.

Disisi lain, tekanan, kampanye hitam, aksi boikot dan lainnya yang kerap dlakukan sejumlah negara terhadap CPO Indonesia tidak berdampak signifikan mengingat besarnya serapan pasar dalam negeri terhadap komoditas tersebut.

Pembayar Hutang  

Bagi publik luar Riau, mereka kerap menilai orang-orang yang berasal dari bumi lancang kuning identik dengan orang kaya atau sejahtera.

Ini sangat beralasan meyusul adanya pameo “diatas minyak (baca: kelapa sawit), dibawah minyak (baca: minyak bumi). Stigma ini tidak sepenuhnya benar.

Kisah pilu, Tukirin, salah seorang petani sawit warga Kampung Santa Hulu , Kelurahan Batu Teritip, Kecamatan Sungai Sembilan, Kota  Dumai, Provinsi Riau, misalnya, bisa dijadikan argumen  bahwa anggapan  diatas tidak sepenuhnya benar. Bagi dia hasil kebun sawit belum menjanjikan seperti yang dibayangkan banyak orang.

Lelaki paruh baya dengan logat Jawa kental ini kepada DPG melalui telpon seluler menuturkan kehidupan getir menjadi petani sawit –mungkin ribuan kepala keluarga lainnya mengalami nasib serupa terlebih di wilayah yang infrastrukturnya minim, red.

Tukirin mengisahkan dalam kurun waktu sekitar 15 tahun terakhir dia merenda nasib di wilayah jiran Hutan Senepis tempat ‘tuk belang’ –sebutan kehormatan  masyarakat tempatan bagi harimau- bersemayam.

Mimpi ayah tiga anak ini tidaklah muluk-muluk bahkan teramat sederhana, memiliki kebun sawit untuk menyambung hidup menopang ekonomi keluarga dan sedikit lahan tempat berteduh bagi orang-orang terkasih  berikut pekarangan.

Kendati terbentur pendanaan, Tukirin tidak patah arang untuk mewujudkan impian kecilnya. Perlahan tapi pasti sekitar tahun 2003 dia pun mulai melakukan perencanaan berkebun sawit di wilayah itu. Selanjutnya mulai tahun 2005 s/d 2007 kebun itu mulai dibuka dan digarap.     Sebelumnya dia bekerja serabutan.

Letih dengan kondisi itu, akhirnya dia memutuskan bertani sawit. Kala itu,   Tukirin  berpikiran mana tahu nasib baik dan peruntungan memayunginya.

“Bagi orang seperti saya ini perusahaan tidak membutuhkan tenaga saya. Ya, berkebun,” ungkap Tukirin seolah-seolah menyadari bahwa usianya tidak muda lagi sulit rasanya bersaing dengan ana-anak muda dengan pendidikan terbilang tinggi dan memadai.

Untuk menuju  rumah Tukirin bukan perkara  mudah. Jika memasuki musim penghujan maka jalan tanah berwarna merah bercampur gambut itu licin dan sulit dilalui kendaraan roda dua.

Tak jarang penumpang harus rela berjalan kaki agar memudahkan pengemudi motor menjaga keseimbangan. Sehingga bisa memakan waktu sekitar 4 s/d 6 jam –saat melakukan wawancara Dumai dilanda musim penghujan, dengan berbagai pertimbangan termasuk pandemi Covid-19  akhirnya diputuskan wawancara dilakukan melalui telpon seluler, red.

Beruntung saat musim kemarau  DPG pernah tiga kali mengunjungi wilayah itu terakhir melalui jalur laut. Infrastruktur kurang memadai itu dimulai dari Kampung Santa Hulu, Bulu Hala, Tianjung dan Batuteritip.

Ternyata saat dihubungi melalui telponseluler dia masih berada di kebun sawit yang berjarak sekitar 15 menit perjalanan menggunakan sepeda motor dari rumah panggung  berukuran 6 X 13 meter miliknya.

Memang, mayoritas rumah warga di wilayah itu berbentuk panggung. Ini untuk menghindari binatang buas seperti harimau, ular, babi hutan dan sebagainya. Disamping harga batu bata atau batako terbilang mahal karena didatangkan dari kota menggunakan pongpong –perahu kecil, red.

Kendati wilayah itu ditenggarai masuk “pekarangan” tuk belang. Namun tidak menyurutkan nyali Tukirin. Sebaliknya, demi menyambung hidup, dia  pun nekat berkebun kelapa sawit di wilayah itu.

Tahun 2005 lahan pun sudah siap, maka  mulailah Tukirin mempersiapkan segala keperluan. Akhirnya lahan sekitar 2 hektar siap untuk ditanami kelapa sawit. Selanjutnya sekitar tahun 2007 mulai bibit “emas hijau” disemai –istilah lain bagi kelapa sawit yang pernah diungkapkan Presiden Jokowi dalam sebuah acara di Provinsi Jambi beberapa waktu lalu, red.

Bercocok tanam di ‘pekarangan rumah’ tuk belang kerap membuat interaksi antara bani adam dengan si raja hutan tidak terelakan.

Lantas apakah Tukirin pernah disatroni tuk belang.  misalnya? Pria ramah itu pun mengaku pernah suatu ketika saat berada di kebun tuk belang melintas tak jauh dari dirinya.

Lalu bagaimana kakek dua cucu ini  menyikapi kondisi yang mengancam jiwanya ini? Dia pun mengaku saat itu urat takutnya pun sudah putus.

“Saya sudah pasrah saja apa yang akan terjadi. Yang penting niat saya hanya mencari makan,” terang Tukirin   seolah-olah terlempar ke lorong waktu yang melemparnya ke masa 11 tahun silam.

Tak hanya tuk belang, Tukirin dan ratusan Kepala Keluarga (KK) diwilayah itu juga menghadapi binatang buas lainnya yang  membuat adrenalin mereka meninggi, sebut saja babi hutan, beruang madu, ular, dan harimau dahan –ukuran tubuh lebih kecil dibanding tuk belang dengan warna bulu menyerupai kulit pohon, red.

“Ini ada babi hutan, tak jauh dari kebun,” tukas Tukirin dari telpon seluler miliknya.

Kendati garam asam  berkebun sawit di daerah pelosok dengan dihuni sejumlah binatang buas dan berbisa yang tak jarang mengancam jiwanya, namun tidak membuat Tukirin surut ke belakang. Sebaliknya  dia tetap bersemangat mejumput mimpi kecilnya.

Kurang memadainya  infrastruktur jalan di wilayah itu membuat Tukirin  dan petani lainnya tidak  menikmati berkah terkait membaiknya harga kelapa sawit menyusul kondisi trek,  yakni sebuah musim ketika perkebunan dan lahan tidak menghasilkan banyak hasil panen seperti biasanya pada tanaman asal Afrika itu.

Ketika harga Tandan Buah Segar (TBS) milik petani lainnya di Kota Dumai dihargai sekitar  Rp1300 perkilogram maka Tukirin hanya menikmati harga komoditas itu Rp980.

Salah seorang buruh sedang membongkar kelapa sawit dari sejumlah daerah pelosok menggunakan pompong (perahu kecil) untuk selanjutnya dibawa ke Pabrik Kelapa Sawit (PKS).Foto : Dok DPG

Lazimnya orang timur kebanyakan yang kerap lebih mengkedapankan rasa bersyukur daripada berkeluh kesah, sikap itu juga melekat pada diri pria bertubuh sedang ini.

Tukirin pun berdalih bahwa sebelum trek buah itu tak jarang dihargai antara Rp500 s/d Rp300 perkilogram. “Kita syukuri saja pak?” ungkap Tukirin tanpa beban.

Saat harga sawit anjlok hingga titik nadir sekitar Rp250 perkilogram, misalnya, maka untuk memenuhi keperluan rumah tangga  dan sebagainya, dia terpaksa meminjam uang kepada tengkulak. Tukirin benar-benar tak berdaya menghadapi kondisi ini.

Untuk menambah pendapatan, dia  menanam padi, palawija, cabe dan sebagainya di lahan pekarangan. Namun tidak mencukupi  untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga.

“Ya, terpaksa berhutang sama tengkulak, nantinya   dibayar dengan sawit,” tukas Tukirin.

Meski harga TBS hanya dihargai  Rp250, misalnya, Tukirin tetap memanen sawit. Kendati tidak mendapatkan apa-apa, ini tetap dilakukannya. Kalau tidak, buah berwarna merah kekuning-kuningan akan membusuk dan berpengaruh terhadap kondisi pohon.

Beruntung di wilayah itu ada tradisi yang dinamakan aruan, yakni para petani secara bergiliran melakukan panen bersama dari satu kebun ke kebun lainnya.

Bisa dibayangkan jika tidak ada tradisi ini maka dia dan petani lainnya harus mengeluarkan uang Rp200 jasa buruh dodos untuk perkilogram sawit.

Dengan harga panen yang kurang memadai. Alih-alih, Tukirin pun mengaku kebun sawitnya tidak sempat diberi pupuk.

“Dalam satu bulan hasil panen sekitar 2 s/d 4 ton. Ingin memupuk kebun itu, tapi tidak punya uang” kata Tukirin pasrah

Nestapa Tukirin dan ratusan petani di daerah pelosok ini tidak hanya sampai disitu.  Tatkala musim penghujan tiba saat para pengumpul  tidak bisa membawa hasil panenan mereka, misalnya. Alih-alih mereka menggunakan sistem kembes untuk membawa sawit ke tempat penampung sebelum dibawa menggunakan jalur laut  ke Dumai.

Sebelum menggunakan sistem kembes terlebih dahulu parit yang berada disekitar kebun dibersihkan. Selanjutnya terpal dibentangkan dan buah sawit ditaruh di atas terpal.

Agar terpal tidak hanyut atau  terbalik karena terpaan deras air maka Tukirin dan kawan-kawan turun ke parit memegang bagian dari ujung-ujung terpal. Ancaman lainnya pun muncul, ular yang sewaktu- waktu bisa membahayakan keselamatan mereka.

“Ya, memang pelintasan binatang itu, kita waspada dan pasrah saja,” tukasnya.

Merananya para petani sawit menyusul anjloknya komoditas itu tidak hanya dirasakan sebagian besar petani sawit di Dumai, Erwin, misalnya, petani asal Pulau Rupat, Kabupaten Bengkalis, menuturkan tatkala  harga sawit dibawah Rp500 dia mengaku tidak bisa berbuat apa-apa.

“Hasilnya, ya hanya untuk bayar tukang dodos saja. Belum lagi untuk beli pupuk dan sebagainya., sangat tidak sebanding,” ujarnya.

Lantas bagaimana tanggapan  petani sawit sebagai elemen yang bersinggungan langsung dengan harga TBS terkait  inovasi Pertamina dengan D100nya?

Tukirin mengaku sangat senang dengan inovasi yang dilakukan Pertamina melalui bio diesel mau pun green diesel.

“Dengan adanya inovasi Pertamina dengan BBN seperti yang ramai dibicarakan orang, sebagai petani kecil harapan kita tidak muluk-muluk,  harga TBS naik dan kesejahteraan kami meningkat,” katanya.

Ya, sebuah asa yang teramat sederhana. Namun hasilnya tidak lagi sederhana.

Lantas apa yang menjadi penyebab anjloknya atau berfluktuasi harga sawit? Sekretaris  Asosiasi Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Kota Dumai Zulfan Ismaini, saat dihubungi DPG mengatakan, salah satu penyebab harga kelapa sawit menjadi rendah yakni biaya yang besar  harus dikeluarkan hingga mencapai ke PKS, seperti transportasi, dodos dan juga rendahnya harga pembelian oleh pengepul, serta kualitas sawit.

“Kelapa sawit milik petani  tidak semuanya mempunyai kualitas yang rendah, selain itu kondisi jalan rusak mempengaruhi biaya transportasi. Kendati begitu, kita berharap green diesel menjadi
salah satu solusi harga sawit atau CPO terdongkrak,” harapnya.

Disamping itu harga TBS juga di pengaruhi ekonomi global terlebih ancaman embargo CPO oleh Uni Eropa (UE).

Menyinggung persoalan boikot dan sebagainya, Senior Operation and Manfacturing Pertamina  RU II Dumai, Joko Pranoto  (sekarang menjabat GM Pertamina RU IV Cilacap, red) berharap pengembangan BBN ini menjadi cikal bakal industri baru di  Indonesia dengan basis nabati.  Karena ke depan minyak semakin lemah dan habis. Disamping menguatkan posisi tawar CPO Indonesia di pasar dunia.

“Mudah-mudahan sebagai cikal bakal industri nabati.  Ke depan minyak  semakin habis. Sementara Indonesia gudangnya,” kata Joko kepada awak media usai mendampingi kunjungan Menristekdikti ke Dumai, Kamis (16/5/19).

Lebih jauh Joko mengatakan pasca Indonesia mampu mengelola  RBDPO itu  Eropa mulai panas dingin. “Karena kemarin CPO kita diband di Eropa sehingga CPO kita turun. Ketika Eropa tahu Indonesia bisa menciptakan teknologi sendiri untuk membuat BBM dari nabati maka Bahan Bakar Nabati (BBN) jadinya, mereka tersentak. Menurut saya kita perlu bersyukur,” ungkap Joko.

Yang terang bagi Riau komoditas kelapa sawit memainkan peranan penting terlebih pada sektor ekonomi. Ini tercermin dari data Dinas Penanaman Modal Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPM PTSP) Riau.

Disebutkan luas kebun kelapa sawit di Riau tahun 2018 tercatat seluas 2.424.545. Kota Dumai seluas 37.521 hektar dengan melibatkan ribuan kepala keluarga yang menggantungkan hidup dengan komoditas tersebut.

Hajat Hidup Orang Banyak

Untuk msyarakat Riau keberadaan kelapa sawit dan Cruide Palm Oil (CPO) tidak bisa dipisahkan dari kehidupan mereka terlebih aspek ekonomi.

Paling tidak ini tercermin dari statemen Gubernur Riau Syamsuar baru-baru ini di Pekanbaru  bahwa lontribusi daerah itu secara nasional mencapai 40 persen notabene produksi untuk nasional paling dominan dibanding daerah penghasil sawit lainnya.

Masih kata orang nomor satu di bumi lancang kuning itu luasan lahan perkebunan sawit yang terhampar di kabupaten/ kota di Riau mencapai 2,8 juta hektar dengan   jumlah produksi CPO mencapai 9,2 juta ton lebih.

Sementara Sekretaris Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Kota Dumai Zulfan Ismaini mengatakan perkebunan sawit banyak melibatkan elemen masyarakat.

Zulfan mengambil contoh bagaimana mata rantai di sektor hulu mulai dari perkebunan atau petani hingga sampai ke Pabrik Kelapa Sawit (PKS).

Dengan rinci  Zulfan pun menjelaskan berapa fee atau komisi yang bakal diraih setiap rantai. Misalnya, dari PKS ke pemegang DO.

“Dari PKS ke pemegang DO itu memang terukur fee yang diberikan PKS  Rp15  s/d Rp20 perkilogram,. Karena harga terpampang di PKS,” jelasnya.

Pemilik DO, sambung Zulfan, mereka  tidak lansung turun. Bermodalkan  kertas (baca: DO,  red) selanjutnya dioper ke ram.

“Rupiah yang diambil Rp180 s/d Rp200 perkilogram. Karena dia harus membayar duluan ke petani, menyiadakan sarana dan pra sarana seperti timbangan, mobil dan mengantar,” jelasnya.

Selanjutnya, kata Zulfan, dari Ram ke agen. Kalau kebun petani jauh ke dalam maka jika melihat ada mobil pick up di ujung-ujung jalan mereka itulah agen.

“ Agen  mengambil Rp50  s/d Rp60, karena mereka perlu modal untuk transportasi. Sementara ranta terakhir pengumpul atau   along-along yang  menggunakan motor masuk ke kebun-kebun itu mengambil Rp50 s/d Rp 60. Nah, dari agen ke pengumpul yang biasa menggunakan motor. Jadi 5 rantai,” jelasnya.

“Ya, kita tidak membicarakan panjangnya mata rantai, tapi yang kita bicarakan begitu banyaknya elemen masyarakat yang terlibat. Bisa dibayangkan berapa banyak orang yang menggantungkan hidup dengan komoditas itu,” kata Zulfan.

Namun demikian, Zulfan mewanti-wanti bahwa program pengelolahan CPO menjadi energi terbarukan seperti D100, misalnya,  tidak akan berpengaruh banyak terhadap petani sawit jika pemerintah tidak mengambil peranan.

“Program biodiesel dan sebagainya sangat berpengaruh terhadap bisnis sawit. Dengan catatan kendali bisnis tetap di  tangan pemerintah,” ingatnya.

Zulfan pun menambahkan untuk mewujudkan agar bahan bakar berbasis minyak sawit ini sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, negara harus tampil sebagai pengelola.

“Kita sangat mendukung program pemerintah melalui pengembangan Bahan Bakar Nabati (BBN), dengan harapan  meningkatkan ekonomi dan kesejahteraan petani sawit.  Apalagi jumlah petani sawit cukup banyak. Artinya ini menyangkut hajat hidup orang banyak” terangnya.

Lantas bagaimana pendapat pemangku kepentingan bahwa seyogianya kendali bisnis kelapa sawit tetap berada di tangan pemerintah? Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati, misalnya, tak urung minta dukungan  pemerintah terkait ketersediaan CPO sebagai bahan baku BBN.

Lalu dukungan seperti  apa yang diharapkan orang nomor satu di perusahaan yang berdiri 10 Desember 1957 menyusul inovasi tersebut?

Nicke meminta  pemerintah memberi kewajiban bagi produsen sawit untuk memasok kebutuhan dalam negeri atau Domestic Market Obligation (DMO).

Dia mengatakan, aturan DMO harus dibuat agar ketersediaan pasokan CPO terpenuhi dan harga jualnya menjadi lebih murah ketimbang ekspor.

“Keberlangsungan green diesel dan green gasoline perlu dukungan DMO, baik volume maupun harga,” ingatnya.

Menurut hemat penulis dukungan yang diminta orang nomor satu diperusahaan yang dulu berlogo kuda laut ini sangat realistis. Mengingat bukan rahasia umum lagi, perusahaan sawit di Indonesia memang lebih cenderung memilih pasar ekspor CPO. Sebab, komoditas ini lebih menguntungkan ketimbang mengolahnya menjadi biodiesel.

Hal ini  yang membuat capaian produksi BBN Indonesia di 2019 hanya 75 persen dari target atau sebanyak 6,26 juta kiloliter.

Pacu Pertumbuhan, Sektor  Riil pun Bergerak

Ternyata implementasi EBT melalui sejumlah program energi berbasis kelapa sawit yang dikembangkan Pertamina dalam beberapa tahun terakhir ini   tidak hanya menyelamatkan industri CPO nasional. Namun ditenggarai menjadi pemacu pertumbuhan ekonomi yang muara akhirnya  menggerakan sektor riil.

Bahkan untuk Riau, kelapa sawit terlebih industri CPO menjadi peyelamat pertumbuhan  ekonomi wilayah itu di tengah pandemi Covid-19.

Hal ini dikemukakan Ekonom Universitas Riau, Dahlan Tampubolon Phd. Kondisi ini dipicu naiknya harga Tandan Buah Segar (TBS)  yang berujung membaiknya ekonomi para petani.

Ilmuan ini mengatakan, pandemi Covid-19 membuat ekonomi Riau maupun nasional anjlok salah satu  dampaknya yakni  turunnya daya beli masyarakat Beruntung, di saat wabah, ekonomi Tiongkok masih tumbuh sehingga harga CPO membaik.

“Kalau ekonomi petani sawit di Riau membaik, akan mendorong konsumsinya. Konsumsi pokok diperoleh dari masyarakat sekitar yang bukan hanya petani sawit. Setelah kebutuhan primernya terpenuhi, petani sawit menghabiskan konsumsinya untuk kebutuhan sekunder, maka bisa kita lihat di hari Sabtu dan Minggu antrean masuk di Mal Pekanbaru dan café yang mulai beroperasi hingga malam,” papar ekonom ini seperti dilansir riauterkini.com.

Setali tiga uang, sukses  uji coba pengelolahan  RBDPO menjadi green diesel nabati, Rabu  (15/7),   juga diprediksi pemerhati ekonomi Kota Dumai Arif Azmi SE   nilai jual kelapa sawit ditingkat petani meningkat.

Arif mengingatkan kerap anjloknya harga sawit ditingkat petani salah satunya berdampak turunnya daya beli masyarakat alih-alih berpengaruh terhadap sektor riil.

Keberhasilan uji coba pengelolahan  RBDPO menjadi green diesel nabati dengan teknologi co processing di Kilang Pertamina RU II Dumai  beberapa waktu lalu, lanjut dia, diharapkan mampu meningkatkan pendapatan petani.

“Kita mengetahui dari sejumlah media massa bahwa diduga salah satu penyebab anjloknya harga sawit yakni adanya boikot CPO kita oleh Uni Eropa (UE). Dengan keberhasilan uji coba ini, apalagi kalau nanti diproduksi massal atau besar-besaran notabene ketergantungan kita terhadap pasar internasional berkurang. Karena mampu diserap  pasar domestik. Sekali lagi ini merupakan prestasi luar biasa Pertamina bersama instansi terkaitnya menyikapi kondisi tanah air kekinian terlebih persoalan energi dan CPO,” ungkapnya.

Diserapnya CPO oleh Pertamina sebagai salah satu komponen utama RBDPO, masih kata dia, sedikit banyak mempengaruhi harga tandan segar ditingkat petani.

“Dengan harga tandan sawit relatif membaik dan stabil tentu pengaruhnya sangat signifikan terhadap daya beli dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah yang pada gilirannya ikut menyumbang ekonomi nasional ke arah yang lebih baik,” ingatnya.

Arif Azmi SE mengakui komoditas kelapa sawit danCPO menimbulkan  efek ganda terhadap kehidupan  masyarakat Riau terlebih sektor perekonomian.

“Industri CPO mulai dari hulu dan hilir termasuk padat karya. Artinya, memerlukan banyak pekerja, disatu sisi. Disisi lain juga padat modal dan  teknologi,” katanya.

Dengan banyaknya orang dipekerjakan maupun terlibat di industri itu, lanjut cendikiawan muda ini, notabene mereka memperoleh pendapatan  yang pada gilirannya dibelanjakan untuk memenuhi  kebutuhan primer, sekunder mau pun tersier. “Otomatis peredaran uang di tengah masyarakat banyak,” katanya.

Arif pun mengutip teori konsumsi James Dusenberry yang mengemukakan bahwa jumlah konsumsi seseorang dan masyarakat tergantung dari besarnya pendapatan.

“Ini salah satu efek bahwa  sektor tersebut  memberikan kontribusi dalam mendorong perkembangan dan pertumbuhan ekonomi,” katanya

Masih kata dia, akibat adanya pendapatan dan pola konsumtif alih-alih sektor riil pun bergerak yang muara akhirnya memacu pertumbuhan ekonomi.

“Karena itu semua sektor menjadi hidup, mulai dari pasar tradisional, modern, jasa angkutan, pemondokan termasuk hotel, kuliner dan sebagainya,” terangnya kepada DPG baru-baru ini.

Arif berpendapat untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi disebuah daerah maka diperlukan tiga komponen. Pertama,  peningkatan usaha-usaha mikro kecil dan menengah yang berpotensial. Kedua, membuka industri padat karya untuk mengurangi pengangguran dan terakhir meningkatkan investasi daerah.  “Dan semuanya ada pada industri CPO dan turunannya,” katanya.

Efek Domino

Anjloknya harga sawit tidak hanya berdampak terhadap pendapatan dan kesejahteraan petani. Namun berimbas ke sektor lainnya. Ambil contoh J Silaban  salah seorang pedagang sayur-mayur di Pasar Pagi Bundaran, Kelurahan Bukit Batrem, Kecamatan Dumai Timur, Kota Dumai, Provinsi Riau, misalnya.

Ayah satu anak ini mengaku bahwa anjloknya harga sawit membuat jual-beli di lapaknya sepi.

“Itu sangat terasa. Kalau harga sawit bagus, para petani sering ke pasar. Selain membeli banyak, mereka juga tidak pakai tawar lagi, main borong. Ya, ketika harga baik uang mereka tidak berseri (istilah Silaban untuk kata banyak uang, red),” terang Silaban saat berbincang-bincang ringan dengan DPG seputar harga sawit beberapa waktu lalu.

Dengan keberhasilan inovasi Pertamina melalui D-100, Silaban berpendapat akan berdampak signifikan terhadap jual beli  para pedagang di pasar.

“Semoga dengan inovasi D-100 kesejahteraan petani meningkat, kita yang di pasar  kecipratan juga. Paling tidak para petani sawit main borong dan belanja banyak,” harapnya.

Ya, meski sebagai daerah pengelola Minyak dan Gas (Migas)  urat nadi perekonomian Kota Dumai tidak bisa dipisahkan dari kelapa sawit. Bahkan untuk mengetahui apakah harga sawit sedang bagus atau tidak maka tak perlu repot-repot ke perkebunan cukup mengetahui transaksi jual beli kendaraan melalui kredit atau cash di dealer mobil atau sepeda motor.

“Ya, harga sawit sangat mempengaruhi penjualan kendaraan, harga baik penjualan pun meningkat,” terang Eko salah seorang sales kendaraan pabrikan terkenal asal Jepang.

Wajar saja jika keberhasilan inovasi Pertamina melalui D-100 disambut antusias warga Riau terlebih Kota Dumai. Sebab,  tidak bisa dipungkiri kelapa sawit memegang peranan sentral bagi perekonomian bumi lancang kuning. Ya, efek domino  dari eksistensi kelapa sawit dan industri CPO dan turunannya berdampak luar biasa    terhadap perekonomian masyarakat.

Paling tidak dari data yang dirilis  Direktorat Jenderal Perkebunan tahun 2017 menjadi gambaran betapa vitalnya kelapa sawit bagi masyarakat Riau.

Dari data itu terungkap luasan perkebunan  kelapa sawit rakyat Provinsi Riau mencapai 1.386.575 Ha atau 56 persen. Dengan jumlah Kepala Keluarga (KK) petani mencapai 524.561 KK.

Data itu juga menyebutkan bahwa dari 6.657.911 jiwa (Badan Pusat Statistik (BPS) 2017) penduduk Riau tahun 2017 , maka 2.098.244 diantaranya orang yang tertanggung dari kegiatan perkebunan sawit dan turunannya. Dengan menyerap jumlah tenaga kerja 534.827 jiwa.

Dari data diatas  menunjukkan Riau merupakan provinsi yang terbesar dalam industri sawit nasional, baik dari segi luas, dan jumlah petaninya. Adalah wajar jika mereka menganggap keberhasilan inovasi Pertamina melalui bio diesel dan green diesel menjadi berkah sendiri di tengah pandemi Covid-19 yang berdampak lesunya perekonomian global termasuk ancaman boikot Uni Eropa (UE).

Dongkrak Harga TBS

Dari uraian diatas semua kalangan mulai dari ilmuan, pemerhati, pemangku kepentingan termasuk masyarakat akar rumput angkat bicara terkait imbas inovasi BBN yang dilakukan Pertamina terlebih D100 terhadap perekonomian dan turunannya? Lantas bagaimana pandangan pelaku industri CPO di Kota Dumai?

Untuk mengetahui seberapa jauh imbas  dari program BBN, DPG pun melakukan wawancara dengan Humas PT Sari Dumai Sejati (SDS), Kamero Bangun, terkait respon perusahaan CPO yang berlokasi di Kelurahan Lubuk Gaung, Kecamatan Sungai Sembilan, Kota Dumai menyusul inovasi BBN yang dilakukan Pertamina.

Kamero Bangun  mengaku inovasi yang dilakukan Pertamina melalui Bahan Bakar Nabati (BBN) berbasis kelap sawit sangat positif bagi industri CPO.

“Kita menyambut positif terhadap inovasi yang dilakukan Pertamina dengan D100  melalui kilang Pertamina RU II Dumai, karena bisa menyerap lebih banyak  produk industri CPO di tanah air terlebih yang  ada di sekitar Kota Dumai,”  katanya.

Kamero Bangun pun menuturkan bahwa perusahaan tempat dia bekerja, PT SDS, pernah mensuplai CPO untuk program B30.

Dengan dekatnya lokasi  kilang pengelolahan BBN milik Pertamina dengan perusahaan pengelola CPO notabene bisa menekan cost terlebih transportasi. ”Karena tidak perlu pengapalan dan sebagainya,” katanya.

Masih kata dia, tidak hanya industri berbasis CPO yang diuntungkan jika D100 diproduksi massal, tapi petani sawit  kecipratan berkah. Paling tidak harga TBS terdongkrak naik.

Dengan meningkatknya serapan minyak sawit dalam negeri, lanjut Kamero Bangun,  melalui inovasi yang dilakukan Pertamina apakah itu melalui B-20, B-50, B-100 dan D-100 notabene porsi ekspor dan stok minyak  sawit dunia akan berkurang. Disisi lain, minyak nabati lainnya seperti minyak gandum dan bunga matahari tidak bisa menghasilkan atau produksi sepanjang tahun.

“Dengan kondisi serperti itu harga CPO diperkirakan naik, karena disisi lain perusahaan harus memenuhi permintaan  CPO untuk BBN, apalagi sudah ada kontrak. Disisi lain permintaan dunia meningkat karena  pasokan dari minyak nabati lainnya (minyak gandum dan bunga matahari, red) berkurang. Ya, otomatis BTS petani terdongkrak naik,” terangnya.

Satu unit mobil minibus yang menggunakan bahan bakar nabati D100 melakukan test drivediseklitar Jalan Tol Pekanbaru-Dumai, Selasa (14/7).Foto : Doc DPG

Sebelumnya sejumlah analis dan praktisi kelapa sawit berpendapat dengan adanya inovasi D-100  yang dilakukan Pertamina notabene berpotensi harga Tandan Buah Segar (TBS) sawit menguat dan pendapatan petani pun meningkat.

Ini sangat beralasan. Sebagai gambaran, jika ekspor sawit Indonesia bisa berada di bawah  50 persen, maka  bargaining position menjadi kuat dalam hal penentuan  harga, karena pasokan dunia berkurang. Disisi lain, Indonesia produsen besar penghasil CPO.

Apalagi difasilitas eksisting kilang Pertamina RU II Dumai yang memproduksi D100 sebanyak 1000 barel per hari maka diperkirakan  menyerap 30 juta ton CPO per tahun. Kebutuhan CPO tanah air tentu akan berlipat-lipat menyusul rencana Pertamina memproduksi D100 di Kilang RU III Plaju dengan kapasitas 20 ribu barel per hari (BPH).

Jika itu terjadi, tidak tertutup kemungkinan harga TBS pun melesat menjadi kisaran Rp 1900 kg s/d Rp2200 kg , kesejahteraan petani sawit terjamin serta lingkungan hidup terjaga, defisit transaksi berjalan negara pun tertolong

Sementara dari data olahan, untuk tahun 2019, Indonesia memproduksi minyak sawit sebanyak 51,8 juta ton , dengan proporsi yang dihasilkan dari perkebunan rakyat  sebanyak 35 persen, perkebunan besar swasta sebanyak 60 persen, dan perkebunan besar negara 5 persen. Akan tetapi, 70 persen dari total produksi  minyak sawit Indonesia dialokasikan untuk ekspor.

Tidaklah mengherankan jika Walikota Dumai, Zulkifli As, misalnya, memberikan apresiasi tinggi terhadap keberhasilan inovasi yang dilakukan Pertamina.

Sebab, dari data milik Pemko Dumai per tahun 2019 ada sekitar 10.092 Kepala Keluarga (KK)   yang menjadikan  kelapa sawit sebagai penopang  ekonomi keluarga.

“Kalau dirinci lagi dari 10.092 KK tersebut ada 48 ribu jiwa atau sekitar 12,79 persen dari total masyrakat Dumai yang hidup dari hasil kelapa sawit. Tentu, dengan keberhasilan  inovasi yang dilakukan Pertamina mulai dari B-20 hingga D-100, kita berharap harga komoditas itu menjadi lebih baik dan relatif stabil, karena banyak warga Dumai yang bergantung hidup disektor itu. Ya, kita berharap kesejahteraan mereka akan meningkat,” katanya.

Membaiknya harga TBS ekses dari BBN tidak hanya menguntungkan petani, tapi akan membuka peluang bisnis baru.

Paling tidak ini dikemukakan Manajer Operasional Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) PT Pembangunan Dumai, Anora Arsan SE ,  dimata eksekutif muda ini ada peluang bisnis baru bagi daerah menyusul produksi uji coba pengelolahan  RBDPO menjadi green diesel nabati, Rabu (15/7).

“Kita menyambut positif keberhasilan ini. Sebagai pelaku bisnis tentu kita harap ada nilai tambah bagi perekonomian daerah. Ya, saya menilai ada peluang bisnis baru yang pada gilirannya meningkatkan pendapatan masyarakat,” harap Anora kepada DPN.

Lebih jauh, sambung dia, peluang bisnis baru itu bisa terjadi disektor jasa, transportasi, perhotelan dan sebagainya. Bahkan, kata Anora, PT Pembangunan Dumai siap bekerjasama dan menangkap peluang bisnis baru itu. “Kita siap bekerjasama. Apalagi, antara BUMN dan BUMD hampir memiki kesamaan. Intinya, kerjasama saling menguntungkan. Yang satu untuk  negara (BUMN, red) , satu lagi buat daerah (BUMD, red),” pungkasnya.

Menyinggung harga TBS bisa mencapai Rp1900 s/d Rp220 jika D-100 diproduksi massal sebagaimana prediksi sejumlah kalangan, Tugiyanto, petani sawit yang memiliki lahan di Kampung Mampu, Kelurahan Lubuk Gaung, Kecamatan Sugai Sembilan, Kota Dumai, misalnya, mengaku sangat senang.

Sebab pria bertubuh tegap ini berpendapat untuk bisa memenuhi kehidupan petani berikut biaya perawatan maka harga  minimal TBS ditingkat petani sekitar Rp1000 per kilogram.

Tentu Tugiyanto tidak asal sebut. Ayah tiga putera ini mempunyai hitungan sendiri. Dia mengambil contoh, jika TBS perkilo Rp1000 maka  dari 2 hektar lahan bisa menghasilkan Rp4 juta per bulan.

“Ini kita asumsikan bahwa dalam sebulan panen sawit sekitar 4 ton. Sementara Upah Minimal Kota (UMK) sekitar Rp3,5 juta. Ya, cukuplah untuk anak dua dan keperluan lainnya. Bahkan sisanya bisa beli pupuk. Kalau harga diatas itu tentu lebih sejahtera lagi, dan memang itu yang kita harapkan” terang Tugiyanto.

Tugiyanto mengaku titik terang terkait kesejahteraan petani sawit mulai nampak tatkala keberhasilan kilang Pertamina Refinery Unit (RU) II Dumai melakukan uji coba komersil D-10 sekitar bulan Mei 2019 lalu.

Dengan kata lain,  Tugiyanto berpendapat inovasi yang dilakukan Pertamina mulai dari B-20, B-30, B-50, B-100 dan D-100 menjadi harapan terakhir membaiknya harga TBS di tengah pengaruh ekonomi global  termasuk pandemi Covid-19 plus ancaman embargo CPO oleh Uni Eropa (UE).

“Tidaklah berlebihan jika BBN adalah harapan terakhir petani sawit untuk mewujudkan impian, yakni harga kompetitif dan stabil yang berujung kepada meningkatnya kesejahteraan, karena saya rasa tidak ada lagi celah bagaimana mendongkrak harga TBS ditengah kondisi seperti ini selain melalui BBN. Karena untuk menghasilkan D100 diperlukan CPO dalam jumlah banyak dan itu bersifat kontinyu, dan itu saya rasa tidak dijumpai pada industri pengelolahan CPO lainnya ,” katanya optimis.

Lantas apa pandangan Direktur Utama (Dirut) PT Pertamina (Perero) Nicke Widyawati terkait inovasi D100 yang menjadi langkah awal program Energi Baru dan Terbarukan (EBT)  sebelum masuk ke program lainnya seperti avtur nabati dan lain-lainnya?

Wanita berhijab ini mengatakan  Pertamina memiliki tugas dan peran penting menjalankan amanah dari pemerintah untuk menjaga ketahanan energi nasional termasuk aspek peningkatan kesehateraan petani sawit melalui inovasi padabahan bakar nabati terlebih berbasis CPO.

”Untuk itu Pertamina terus berupaya menghadirkan inovasi-inovasi yang dapat berdampak luas bagi bangsa dan negara Indonesia, yakni membangun ketahanan, kemandirian, dan kedaulatan energi nasional. Disamping sebagai bentuk komitmen dan pengabdian Pertamina kepada Negara, ”katanya.

Hal ini, lanjut Nicke,  membuktikan bahwa secara kompetensi dan kapabilitas Pertamina pada khususnya dan anak negeri pada umumnya memliki kemampuan dan daya saing dalam menciptakan inovasi.

“Terbukti bahwa kita mampu memproduksi bahan bakar reneawable yang pertama di Indonesia dan  hasilnya tidak kalah dengan perusahaan  kelas dunia,” tambahnya seraya menambahkan bahwa D-100 juga akan diproduksi di kilang Plaju dengan jumlah 20 ribu bph .

Catatan DPG, inovasi yang dilakukan Pertamina tidak hanya sebatas bio diesel dan green diesel. Namun perusahaan itu memproduksi BBM sesuai kebutuhan atau pesanan  konsumen yang berdasarkan standar dunia, sebut saja Marine Fuel Oil (MFO) viskositas 180 centistoke (Cst) dengan  kandungan sulfur rendah., yakni bahan bakar minyak khusus kapal berkualitas tinggi  yang diminta  International Maritim Organization (IMO), yakni tidak melebihi angka 0,5 persen dibandingkan sebelumnya sebesar 4,5 persen.

Dilain waktu Pertamina RU II Dumai mengembangkan  produk bahan bakar mesin diesel High Speed Diesel (HSD) 50 ppm dengan standar Euro 4. Sesuai permintaan pelanggan di Malaysia.

Menyikapi hal itu Manager Comrel & CSR Pertamina Refinery Unit (RU) II Brasto Galih Nugroho mengatakan produk baru (selain D100, red) menjadi bukti upaya penyesuaian kilang dengan permintaan pasar dalam dan luar negeri.

“Ini juga  merupakan salah satu bentuk komitmen RU II Dumai untuk mulai masuk dan bersaing ke pasar internasional,” jelas Brasto saat ditemui  DPN beberapa waktu lalu.

Dapat disimpulkan inovasi yang dilakukan Pertamina melalui program Energi Baru dan Terbarukan (EBT) dengan produk B-30 hingga D-100 ibarat dua  mata pisau.

Pertama, bertujuan    mengurangi besarnya impor BBM yang berujung devisit  transaksi berjalan yang berimplikasi terhadap perekonomian nasional.

Kedua, inovasi melalui EBT berbasis kelapa sawit akan meningkatkan kesejahteraan petani yang bermuara kepada membaiknya kualitas hidup masyarakat terlebih petani sawit.

Program itu  merupakan bukti bahwa kemampuan teknologi yang dikuasai  anak negeri tidak kalah mumpuni dengan teknologi  luar negeri. Ini menjadi catatan emas bagi perjalanan sejarah  bangsa, terlebih bagi PT Peramina (Persero), dunia pendidikan, kalangan kampus dan anak negeri lainnya  untuk terus  terus melakukan inovasi  tiada henti demi terciptanya kemandirian, ketahanan dan kedaulatan  energi

Ini  sesuai dengan visi Pertamina, menjalankan usaha minyak, gas, serta energi baru dan terbarukan secara terintegrasi, berdasarkan prinsip-prinsip komersial yang kuat. (yon rizal solihin)

 

Sumber Tulisan: Diolah dari berbagai sumber dan hasil wawancara.