100 Anak Riau Cacat Akibat Sindrom Rubella Akut

Dumaiposnews.com, PEKANBARU – Dinas Kesehatan Provinsi Riau terus mendorong untuk menyukseskan program nasional imunisasi campak atau measles & rubella (MR), karena hingga kini ada sekitar 100 anak di Riau yang hidup dengan kondisi cacat akibat terkena sindrom congenital rubella akut atau CRS itu.

“Diperkirakan lebih dari 100 orang ibu di Provinsi Riau memiliki anak dengan CRS,” kata Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Riau, Mimi Nazir, di Pekanbaru, Rabu (12/9).

Kongkowkuy

 Mimi berharap agar semua pihak mau menyukseskan imunisasi MR di Riau yang kini masih terkendala. Penyakit tersebut bisa dicegah dengan cara imunisasi, karena dampak penyakit itu sangat berba­haya dan penularannya lebih mudah ketimbang HIV/AIDS.

Infeksi virus ini, katanya, mengakibatkan komplikasi akut, diantaranya seperti keguguran bagi ibu hamil hingga berupa anak yang lahir dalam kondisi cacat pendengaran, penglihatan tergang­gu, dan kelainan pada jantung.

 “Kalau HIV penularan dari hubungan badan, tapi kalau MR lebih mudah lagi karena dari udara juga bisa menular,” katanya.

Hingga Juli 2018, lanjutnya, telah terdeteksi 972 kasus campak di Riau. Tiga daerah yang terbanyak memiliki kasus campak antara lain, Kabupaten Siak sektiar 29,2 persen. Kemudian Kota Pekanbaru 26,7 persen dan Dumai 13,1 persen.

 Bahkan, pada 2017 Kota Dumai termasuk kategori kejadian luar biasa (KLB) karena kasus campak di daerah itu mencapai 220 kasus.

Kemudian Kabupaten Siak juga termasuk daerah KLB karena ada 103 kasus, dan Indragiri Hulu 15 kasus. Sedangkan hingga pertengahan 2018, kasus campak di Siak sudah mencapai 49 kasus, Dumai ada 22 kasus dan Pekanbaru 14 kasus.

 Poppi Morina, penggagas Komunitas Anakku Sayang yang beranggo­takan orang tua dengan anak yang hidup dengan CRS, mengatakan jumlah anak dengan CRS yang kini terdata merupakan fenomena gunung es.

Data yang diungkap ke publik diyakini merupakan hasil dari orang tua yang mau membuka diri. “Masih banyak orang tua yang menyembunyikan anak-anak mereka yang terdampak rubella, mungkin karena malu,” kata Poppi yang anaknya kehilangan pendengaran karena terkena CRS.

 Karena itu, ia mengatakan komunitas Anakku Sayang bersedia membantu untuk mengedukasi masyarakat tentang pentingnya mencegah penyebaran penyakit itu lewat imunisasi MR. Ia mengaku sedih terlalu banyak informasi keliru tentang pro dan kontra imunisasi MR, yang terlanjur berkembang di tengah masyarakat.

 “Saya sempat sedih dengan lebih banyaknya informasi yang keliru tentang imunisasi MR, sehingga masyarakat sudah terbentuk pola pikirnya duluan untuk menolaknya. Dan itu tidak mudah untuk mengubahnya,” katanya.

Kepala Dinas Kesehatan Riau, Mimi Nazir menambahkan, hingga September ini pencapaian imunisasi MR baru 18,47 persen dari target 1,955 juta anak usia sembilan bulan hingga 15 tahun.

 “Capaian Provinsi Riau sampai dengan 8 September 2018 hanya 18,47 persen masih jauh dari target. Bahkan, Riau berada di urutan dua paling bawah dari capaian provinsi se-Indonesia,” katanya.

 Sejak imunisasi MR untuk provinsi di luar Jawa digelar pada Agustus lalu, Dinkes Riau menargetkan pencapaian bisa sampai 95 persen dari seluruh anak yang menjadi sasaran imunisasi. Namun, karena adanya pro dan kontra kehalalan vaksin MR, membuat program ini tidak berjalan di hampir seluruh kabupaten/kota.

Riau kini hanya berada di atas Provinsi Aceh yang tingkat pencapaian imunisasi MR hanya 6,86 persen. Dari 12 kabupaten/kota di Riau, hanya lima daerah yang pencapaiannya di atas 20 persen dan paling tinggi di Kabupaten Kuantan Singingi yakni sekitar 37,66 persen.

Realiasi imuniasi di Ibukota Provinsi Riau, yakni Kota Pekan­baru, hanya 15,36 persen. Bahkan, di Kabupaten Kepulauan Meranti, Siak dan Kota Dumai, pencapaiannya masih di bawah 10 persen.

 “Memang masih ada pemerintah daerah seperti di Dumai, Indragiri Hilir dan Pekanbaru, masih menunda pelaksanaan kegiatan imunisasi MR,” kata Mimi. (ant/rio)